Ronggeng Dukuh Paruk
Bagian Pertama
Sepasang burung bangau melayang meniti angin berputar-putar tinggi di langit. Tanpa sekali pun
mengepak sayap, mereka mengapung berjam-jam lamanya. Suaranya melengking seperti keluhan panjang.
Air. Kedua unggas itu telah melayang beratus-ratus kilometer mencari genangan air. Telah lama mereka
merindukan amparan lumpur tempat mereka mencari mangsa; katak, ikan, udang atau serangga air
lainnya.
Namun kemarau belum usai. Ribuan hektar sawah yang mengelilingi Dukuh Paruk telah tujuh bulan
kerontang. Sepasang burung bangau itu takkan menemukan genangan air meski hanya selebar telapak
kaki. Sawah berubah menjadi padang kering berwarna kelabu. Segala jenis rumput, mati. Yang menjadi
bercak-bercak hijau di sana-sini adalah kerokot, sajian alam bagi berbagai jenis belalang dan jangkrik.
Tumbuhan jenis kaktus ini justru hanya muncul di sawah sewaktu kemarau berjaya.
Di bagian langit lain, seekor burung pipit sedang berusaha mempertahankan nyawanya. Dia terbang bagai
batu lepas dari katapel sambil menjerit sejadi-jadinya. Di belakangnya, seekor alap-alap mengejar dengan
kecepatan berlebih. Udara yang ditempuh kedua binatang ini membuat suara desau. Jerit pipit kecil itu
terdengar ketika paruh alap-alap menggigit kepalanya. Bulu-bulu halus beterbangan. Pembunuhan terjadi
di udara yang lengang, di atas Dukuh Paruk.
Angin tenggara bertiup. Kering. Pucuk-pucuk pohon di pedukuhan sempit itu bergoyang. Daun kuning serta
ranting kering jatuh. Gemersik rumpun bambu. Berderit baling-baling bambu yang dipasang anak gembala
di tepian Dukuh Paruk. Layang-layang yang terbuat dari daun gadung meluncur naik. Kicau beranjangan
mendaulat kelengangan langit di atas Dukuh Paruk.
Udara panas berbulan-bulan mengeringkan berjenis biji-bijian. Buah randu telah menghitam kulitnya,
pecah menjadi tiga juring. Bersama tiupan angin terburai gumpalan-gumpalan kapuk. Setiap gumpal kapuk
mengandung biji masak yang siap tumbuh pada tempat ia hinggap di bumi. Demikian kearifan alam
mengatur agar pohon randu baru tidak tumbuh berdekatan dengan biangnya.
Pohon dadap memilih cara yang hampir sama bagi penyebaran jenisnya. Biji dadap yang telah tua
menggunakan kulit polongnya untuk terbang sebagai baling-baling. Bila angin berembus, tampak seperti
ratusan kupu terbang menuruti arah angin meninggalkan pohon dadap. Kalau tidak terganggu oleh
anak-anak Dukuh Paruk, biji dadap itu akan tumbuh di tempat yang jauh dari induknya. Begitu perintah
alam.
Dari tempatnya yang tinggi kedua burung bangau itu melihat Dukuh Paruk sebagai sebuah gerumbul kecil
di tengah padang yang amat luas. Dengan daerah pemukiman terdekat, Dukuh Paruk hanya dihubungkan
oleh jaringan pematang sawah, hampir dua kilometer panjangnya. Dukuh Paruk, kecil dan menyendiri.
Dukuh Paruk yang menciptakan kehidupannya sendiri.
Dua puluh tiga rumah berada di pedukuhan itu, dihuni oleh orang-orang seketurunan. Konon, moyang
semua orang Dukuh Paruk adalah Ki Secamenggala, seorang bromocorah yang sengaja mencari daerah
paling sunyi sebagai tempat menghabiskan riwayat keberandalannya. Di Dukuh Paruk inilah akhirnya Ki
Secamenggala menitipkan darah dagingnya.
Semua orang Dukuh Paruk tahu Ki Secamenggala, moyang mereka, dahulu menjadi musuh kehidupan
masyarakat. Tetapi mereka memujanya. Kubur Ki Secamenggala yang terletak di punggung bukit kecil di
tengah Dukuh Paruk menjadi kiblat kehidupan kebatinan mereka. Gumpalan abu kemenyan pada nisan
kubur Ki Secamenggala membuktikan polah-tingkah kebatinan orang Dukuh Paruk berpusat di sana.
Di tepi kampung, tiga orang anak laki-laki sedang bersusah-payah mencabut sebatang singkong. Namun
ketiganya masih terlampau lemah untuk mengalahkan cengkeraman akar ketela yang terpendam dalam
tanah kapur. Kering dan membatu. Mereka terengah-engah, namun batang singkong itu tetap tegak di
tempatnya. Ketiganya hampir berputus asa seandainya salah seorang anak di antara mereka tidak
menemukan akal.
“Cari sebatang cungkil,” kata Rasus kepada dua temannya. “Tanpa cungkil mustahil kita dapat mencabut
singkong sialan ini.”
“Percuma. Hanya sebatang linggis dapat menembus tanah sekeras ini,” ujar Warta. “Atau lebih baik kita
mencari air. Kita siram pangkal batang singkong kurang ajar ini. Pasti nanti kita mudah mencabutnya.”
“Air?” ejek Darsun, anak yang ketiga. “Di mana kau dapat menemukan air?”
“Sudah, sudah. Kalian tolol,” ujar Rasus tak sabar. “Kita kencingi beramai-ramai pangkal batang singkong
ini. Kalau gagal juga, sungguh bajingan.”
Tiga ujung kulup terarah pada titik yang sama. Currrr. Kemudian Rasus, Warta dan Darsun berpandangan.
Ketiganya mengusap telapak tangan masing-masing. Dengan tekad terakhir mereka mencoba mencabut
batang singkong itu kembali.
Urat-urat kecil di tangan dan di punggung menegang. Ditolaknya bumi dengan hentakan kaki sekuat
mungkin. Serabut-serabut halus terputus. Perlahan tanah merekah. Ketika akar terakhir putus ketiga anak
Dukuh Paruk itu jatuh terduduk. Tetapi sorak-sorai segera terhambur. Singkong dengan umbi-umbinya
yang hanya sebesar jari tercabut.
Adat Dukuh Paruk mengajarkan, kerja sama antara ketiga anak laki-laki itu harus berhenti di sini. Rasus,
Warta dan Darsun kini harus saling adu tenaga memperebutkan umbi singkong yang baru mereka cabut.
Rasus dan Warta mendapat dua buah, Darsun hanya satu. Tak ada protes. Ketiganya kemudian sibuk
mengupasi bagiannya dengan gigi masing-masing, dan langsung mengunyahnya. Asinnya tanah. Sengaknya
kencing sendiri.
Sambil membersihkan mulutnya dengan punggung lengan, Rasus mengajak kedua temannya melihat
kambing-kambing yang sedang mereka gembalakan. Yakin bahwa binatang gembalaan mereka tidak
merusak tanaman orang, ketiganya berjalan ke sebuah tempat di mana mereka sering bermain. Di bawah
pohon nangka itu mereka melihat Srintil sedang asyik bermain seorang diri. Perawan kecil itu sedang
merangkai daun nangka dengan sebatang lidi untuk dijadikan sebuah mahkota.
Duduk bersimpuh di tanah sambil meneruskan pekerjaannya, Srintil berdendang. Siapa pun di Dukuh
Paruk, hanya mengenal dua irama. Orang-orang tua bertembang kidung, dan anak-anak menyanyikan
lagu-lagu ronggeng. Dengan suara kekanak-kanakannya, Srintil mendendangkan lagu kebanggaan para
ronggeng: Senggot timbane rante, tiwas ngegot ning ora suwe.
Lagu erotik. Srintil, perawan yang baru sebelas tahun, menyanyikannya dengan sungguh-sungguh. Boleh
jadi Srintil belum faham benar makna lirik lagu itu. Namun sama saja. Dukuh Paruk tidak akan bersusah
hati bila ada anak kecil menyanyikan lagu yang paling cabul sekalipun.
Betapa asyik Srintil dengan dendangnya, terbukti dia tidak menyadari ada tiga anak laki-laki sudah berdiri
di belakangnya. Srintil baru sadar ketika sedang mencoba memasang mahkota daun nangka ke atas
kepalanya.
“Terlalu besar,” ujar Rasus mengejutkan Srintil. Perawan kecil itu mengangkat muka.
“Aku bersedia membuatkan badongan untukmu,” sambung Rasus menawarkan jasa.
“Tak usah. Kalau mau, ambilkan aku daun bacang. Nanti badongan ini lebih baik,” jawab Srintil.
Rasus tersenyum. Baginya, memenuhi permintaan Srintil selalu menyenangkan. Maka dia berbalik,
menoleh kiri-kanan mencari sebatang pohon bacang. Setelah didapat, Rasus memanjat. Cepat seperti
seekor monyet. Dipetiknya beberapa lembar daun bacang yang lebar. Pikir Rasus, dengan daun itu
mahkota di kepala Srintil akan bertambah manis.
Dengan bantuan ketiga anak laki-laki itu Srintil dapat menyelesaikan mahkota daunnya. Ukurannya tepat.
“Bagus sekali,” kata Rasus setelah melihat badongan daun nangka itu menghias kepala Srintil.
“Sungguh?” balas Srintil meyakinkan.
“Aku tidak bohong. Bukankah begitu, Warta? Darsun?”
“Ya, benar. Engkau cantik sekali sekarang,” ujar Warta.
“Seperti seorang ronggeng?” tanya Srintil lagi. Gayanya manja.
“Betul.”
“Ah, tidak,” potong Darsun. “Kecuali engkau mau menari seperti ronggeng.”
Srintil diam. Dipandangnya ketiga anak laki-laki di hadapannya. Dalam hati Srintil merasa penasaran.
Apakah kalian menyangka aku tak bisa menari seperti seorang ronggeng? tanya Srintil.
“Baik, aku akan menari. Kalian harus mengiringi tarianku. Bagaimana?” tantang Srintil.
“Wah, jadi kalau begitu,” jawab Rasus cepat. “Aku akan menirukan bunyi gendang. Warta menirukan
calung dan Darsun menirukan gong tiup. Hayo!”
Di pelataran yang membatu di bawah pohon nangka. Ketika angin tenggara bertiup dingin menyapu harum
bunga kopi yang selalu mekar di musim kemarau. Ketika sinar matahari mulai meredup di langit barat.
Srintil menari dan bertembang. Gendang, gong dan calung mulut mengiringinya. Rasus bersila,
menepak-nepak lutut menirukan gaya seorang penggendang. Warta mengayunkan tangan ke kiri-kanan,
seakan ada perangkat calung di hadapannya. Darsun membusungkan kedua pipinya. Suaranya berat
menirukan bunyi gong.
Siapa yang akan percaya, tak seorang pun pernah mengajari Srintil menari dan bertembang. Siapa yang
akan percaya belum sekali pun Srintil pernah melihat pentas ronggeng. Ronggeng terakhir di Dukuh Paruk
mati ketika Srintil masih bayi. Tetapi di depan Rasus, Warta dan Darsun, Srintil menari dengan baiknya.
Mimik penagih birahi yang selalu ditampilkan oleh seorang ronggeng yang sebenarnya, juga diperbuat oleh
Srintil saat itu. Lenggok lehernya, lirik matanya, bahkan cara Srintil menggoyangkan pundak akan
memukau laki-laki dewasa manapun yang melihatnya. Seorang gadis kencur seperti Srintil telah mampu
menirukan dengan baiknya gaya seorang ronggeng. Dan orang Dukuh Paruk tidak bakal heran.
Di pedukuhan itu ada kepercayaan kuat, seorang ronggeng sejati bukan hasil pengajaran. Bagaimanapun
diajari, seorang perawan tak bisa menjadi ronggeng kecuali roh indang telah merasuk tubuhnya. indang
adalah semacam wangsit yang dimuliakan di dunia peronggengan.
Demikian, sore itu Srintil menari dengan mata setengah tertutup, jari tangannya melentik kenes. Ketiga
anak laki-laki yang mengiringinya menyaksikan betapa Srintil telah mampu menyanyikan banyak lagu-lagu
ronggeng.
Mulut Rasus dan kedua temannya pegal sudah. Namun terus melenggang dan melenggok. Alunan
tembangnya terus mengalir seperti pancuran di musim hujan.
Betapapun, akhirnya Srintil berhenti karena mulut ketiga pengiringnya bungkam. Tidak tampak tanda
Srintil lelah. Bahkan kepada ketiga kawannya, Srintil masih menuntut.
“Wah, lagi, ya!” desaknya.
“Mengaso dulu. Mulutku pegal,” jawab Rasus.
“Ya, kita berhenti dulu. Kita hanya akan bermain lagi kalau Srintil berjanji akan memberi kami upah,”
kata Warta.
“Baik, baik. Kalian minta upah apa?”
Warta diam. Rasus tersenyum sambil memandang Darsun.
“Kalian minta upah apa?” ulang Srintil. Berkata demikian Srintil melangkah ke arah Rasus. Dekat sekali.
Tanpa bisa mengelak, Rasus menerima cium di pipi. Warta dan Darsun masing-masing mendapat giliran
kemudian. Sebelum ketiga anak laki-laki itu sempat berbuat sesuatu, Srintil menagih janji.
“Nah. Kalian telah menerima upah. Sekarang aku menari. Kalian harus mengiringi lagi.”
Ketiganya patuh. Ceria di bawah pohon nangka itu berlanjut sampai matahari menyentuh garis cakrawala.
Sesungguhnya Srintil belum hendak berhenti menari. Namun Rasus berkeberatan karena ia harus
menggiring tiga ekor kambingnya pulang ke kandang. Pada akhir permainan, Rasus, Warta dan Darsun
minta upah. Kali ini mereka yang berebut menciumi pipi Srintil. Perawan kecil itu melayani bagaimana
laiknya seorang ronggeng. Sebelum berlari pulang, Srintil minta jaminan besok hari Rasus dan dua
temannya akan bersedia kembali bermain bersama.
Karena letak Dukuh Paruk di tengah amparan sawah yang sangat luas, tenggelamnya matahari tampak
dengan jelas dari sana. Angin bertiup ringan. Namun cukup meluruhkan dedaunan dari tangkainya.
Gumpalan rumput kering menggelinding dan berhenti karena terhalang pematang.
Hilangnya cahaya matahari telah dinanti oleh kelelawar dan kalong. Satu-satu mereka keluar dari sarang,
di lubang-lubang kayu, ketiak daun kelapa atau kuncup daun pisang yang masih menggulung. Kemarau
tidak disukai oleh bangsa binatang mengirap itu. Buah-buahan tidak mereka temukan. Serangga pun
seperti lenyap dari udara. Pada saat demikian kampret harus mau melalap daun waru agar kehidupan
jenisnya lestari.
Pelita-pelita kecil dinyalakan. Kelap-kelip di kejauhan membuktikan di Dukuh Paruk yang sunyi ada
kehidupan manusia. Bulan yang lonjong hampir mencapai puncak langit. Cahayanya membuat bayangan
temaram di atas tanah kapur Dukuh Paruk. Kehadirannya di angkasa tidak terhalang awan. Langit bening.
Udara kemarau makin malam makin dingin.
Pagelaran alam yang ramah bagi anak-anak. Halaman yang kering sangat menyenangkan untuk arena
bermain. Cahaya bulan mencipta keakraban antara manusia dengan lingkup fitriyahnya. Anak-anak,
makhluk kecil yang masih lugu, layak hadir di halaman yang berhias cahaya bulan. Mereka pantas
berkejaran, bermain dan bertembang. Mereka sebaiknya tahu masa kanak-kanak adalah surga yang hanya
sekali datang.
Tidak, tidak. Awal malam yang ceria itu tidak berbias lengking anak-anak Dukuh Paruk. Kemarau
terlampau panjang tahun ini. Dua bulan terakhir tiada lagi padi tersimpan di rumah orang Dukuh Paruk.
Mereka makan gaplek. Anak-anak makan nasi gaplek. Karbohidrat yang terkandung dalam singkong kering
itu banyak rusak. Anak-anak tidak berbekal cukup kalori untuk bermain siang malam.
Jadi pada malam yang bening itu, tak ada anak Dukuh Paruk keluar halaman. Setelah menghabiskan
sepiring nasi gaplek mereka lebih senang bergulung dalam kain sarung, tidur di atas balai-balai bambu.
Mereka akan bangun besok pagi bila sinar matahari menerobos celah dinding dan menyengat kulit mereka.
Orang-orang dewasa telah bekerja keras di siang hari. Tanaman musim kemarau berupa sayuran,
tembakau dan palawija harus disiram dengan air sumur yang khusus mereka gali. Bila malam tiba,
keinginan mereka tidak berlebihan; duduk beristirahat sambil menggulung tembakau dengan daun pisang
atau kulit jagung kering. Sedikit tengah malam mereka akan naik tidur. Pada saat kemarau panjang
seperti itu mustahil ada perempuan Dukuh Paruk hamil.
Menjelang tengah malam barangkali hanya Sakarya yang masih termangu di bawah lampu minyak yang
bersinar redup. Sakarya, kamitua di pedukuhan terpencil itu masih merenungi ulah cucunya sore tadi.
Dengan diam-diam Sakarya mengikuti gerak-gerik Srintil ketika cucunya itu menari di bawah pohon
nangka. Sedikit pun Sakarya tidak ragu, Srintil telah kerasukan indang ronggeng.
Sakarya tersenyum. Sudah lama pemangku keturunan Ki Secamenggala itu merasakan hambarnya Dukuh
Paruk karena tidak terlahirnya seorang ronggeng di sana. “Dukuh Paruk tanpa ronggeng, bukanlah Dukuh
Paruk. Srintil, cucuku sendiri, akan mengembalikan citra sebenarnya pedukuhan ini,” kata Sakarya kepada
dirinya sendiri. Sakarya percaya, arwah Ki Secamenggala akan terbahak di kuburnya bila kelak tahu ada
ronggeng di Dukuh Paruk.
Tak seorang pun menyalahkan pikiran Sakarya. Dukuh Paruk hanya lengkap bila di sana ada keramat Ki
Secamenggala, ada seloroh cabul, ada sumpah-serapah dan ada ronggeng bersama perangkat calungnya.
Gambaran tentang Dukuh Paruk dilengkapi oleh ucapan orang luar yang senang berkata misalnya, “Jangan
mengabadikan kemelaratan seperti orang Dukuh Paruk.” Atau, “Hai, anak-anak, pergilah mandi. Kalau
tidak nanti kupingmu mengalir nanah, kakimu kena kudis seperti anak-anak Dukuh Paruk!”
Keesokan harinya Sakarya menemui Kartareja. Laki-laki yang hampir sebaya ini secara turun-temurun
menjadi dukun ronggeng di Dukuh Paruk. Pagi itu Kartareja mendapat kabar gembira. Dia pun sudah
bertahun-tahun menunggu kedatangan seorang calon ronggeng untuk diasuhnya. Belasan tahun sudah
perangkat calungnya tersimpan di para-para di atas dapur. Dengan laporan Sakarya tentang Srintil, dukun
ronggeng itu berharap bunyi calung akan kembali terdengar semarak di Dukuh Paruk.
“Kalau benar tuturmu, Kang, kita akan tetap betah tinggal di pedukuhan ini,” kata Kartareja menanggapi
laporan Sakarya.
“Eh, sampean lihat sendiri nanti,” jawab Sakarya. “Srintil akan langsung menari dengan kenesnya bila
mendengar suara calungmu.”
Kartareja mengangguk-angguk. Bibirnya yang merah kehitaman oleh kapur sirih bergoyang ke kiri-kanan.
Lalu disemprotkannya sisa tembakau yang tertinggal di mulutnya.
“Ah, Kang Sakarya. Aku tak lagi diperlukan kalau begitu. Bukankah Srintil sudah menjadi ronggeng sejak
lahir?” kata Kartareja tawar. Dia sedikit tersinggung. Keahliannya mengasuh ronggeng merasa
disepelekan.
“Eh, sampean salah tangkap. Maksudku, Srintil benar-benar telah mendapat indang. Masakan sampean
tidak menangkap maksudku ini.”
“Oh, begitu.”
“Ya. Dan tentu sampean perlu memperhalus tarian Srintil. Cucuku tampaknya belum pintar melempar
sampur. Nah, ada lagi yang penting; masalah 'rangkap' tentu saja. Itu urusanmu, bukan?”
Kartareja terkekeh. Dia merasa tidak perlu berkata apa-apa. “Rangkap” yang dimaksud oleh Sakarya
tentulah soal guna-guna, pekasih, susuk dan tetek-bengek lainnya yang akan membuat seorang ronggeng
laris. Kartareja dan istrinya sangat ahli dalam urusan ini.
“Pokoknya Dukuh Paruk akan kembali mempunyai ronggeng. Bukankah begitu, Kang?”
“Eh, ya. Memang begitu. Kita yang tua-tua di pedukuhan ini tak ingin mati sebelum melihat Dukuh Paruk
kembali seperti aslinya dulu. Bahkan aku takut arwah Ki Secamenggala akan menolakku di kubur bila aku
tidak melestarikan ronggeng di pedukuhan ini.”
“Bukan hanya itu, Kang. Bukankah ronggeng bisa membuat kita betah hidup?”
Kedua kakek itu tertawa bersama. Di antara gelaknya Sakarya mengeluh mengapa dia tidak bisa
mengundurkan usianya dari tujuh puluh menjadi dua puluh tahun.
Beberapa hari kemudian Sakarya dan Kartareja selalu mengintip Srintil menari di bawah pohon nangka.
Kedua laki-laki tua itu sengaja membiarkan Srintil menari sepuas hatinya diiringi calung mulut oleh Rasus
dan kedua kawannya. Kartareja percaya akan ceritera Sakarya. Srintil telah kemasukan indang ronggeng.
Pada hari baik, Srintil diserahkan oleh kakeknya, Sakarya kepada Kartareja. Itu hukum Dukuh Paruk yang
mengatur perihal seorang calon ronggeng. Keluarga calon harus menyerahkannya kepada dukun ronggeng,
menjadi anak akuan.
Dua belas tahun sejak kematian ronggeng Dukuh Paruk yang terakhir. Selama itu Dukuh Paruk tanpa suara
calung. Perangkat gamelan bambu itu telah tertutup lapisan debu campur jelaga di para-para dapur
keluarga Kartareja. Tali ijuk yang merenteng tiap mata calung telah putus oleh gigitan tikus atau ngengat.
Untung.
Serangga bubuk dan anai-anai tak merapuhkan gamelan bambu itu. Untung pula, Kyai Comblang, gendang
pusaka milik keluarga Kartareja tetap disimpan dengan perawatan istimewa. Perkakas itu siap pakai meski
telah istirahat dalam waktu lama.
Kesulitan pertama yang dihadapi Kartareja bukan masalah bagaimana memperbaiki alat musiknya,
melainkan bagaimana dia mendapat para penabuh. Penabuh gendang yang disayanginya meninggal pada
malapetaka paceklik dua tahun lalu. Seorang lagi yang biasa melayani calung penerus, lenyap entah ke
mana. Tetapi bagaimanapun Kartareja beruntung. Dia berhasil menemukan kembali Sakum, laki-laki
dengan sepasang mata keropos namun punya keahlian istimewa dalam memukul calung besar.
Sakum, dengan mata buta mampu mengikuti secara seksama pagelaran ronggeng. Seperti seorang awas,
Sakum dapat mengeluarkan seruan cabul tepat pada saat ronggeng menggerakkan pinggul ke depan dan ke
belakang. Pada detik ronggeng membuat gerak birahi, mulut Sakum meruncing, lalu keluar suaranya yang
terkenal; Cessss! Orang mengatakan, tanpa Sakum setiap pentas ronggeng tawar rasanya.
Kemarau masih mengulur waktu. Kartareja menemukan hari dan malam cerah buat mulai mengasuh
Srintil.
Senja yang telah ditunggu semua warga Dukuh Paruk. Kartareja menyuruh orang membersihkan
halamannya. Empat helai tikar pandan digelar di tengah tanah kering berpasir itu. Setelah hari gelap,
sebuah lampu minyak besar dinyalakan. Terang, sebab pada sumbu-lampu minyak itu dipasang sebuah
cincin penerang. Suasana demikian mengundang anak-anak. Mereka bergerombol memperhatikan
orang-orang bekerja. Semuanya telah tahu, malam itu Srintil akan menari.
Di dalam rumah, Nyai Kartareja sedang merias Srintil. Tubuhnya yang kecil dan masih lurus tertutup kain
sampai ke dada. Angkinnya kuning. Di pinggang kiri kanan ada sampur berwarna merah saga. Srintil
didandani seperti laiknya seorang ronggeng dewasa. Kulitnya terang karena Nyai Kartareja telah
melumurinya dengan tepung bercampur air kunyit. Istri dukun ronggeng itu juga telah menyuruh Srintil
mengunyah sirih. Bibir yang masih sangat muda itu merah.
Banyak perempuan dan anak-anak memenuhi rumah Kartareja. Mereka ingin melihat Srintil dirias.
Sepanjang usianya yang sebelas tahun, baru pertama kali Srintil menjadi perhatian orang. Dia tersipu.
Terkadang tertawa kecil bila dia mendengar orang berbisik memuji kecantikannya. Mulutnya mungil.
Cambang tipis di pipinya menjadi nyata setelah Srintil dibedaki. Alis yang diperjelas dengan jelaga
bercampur getah pepaya membuatnya kelihatan seperti boneka.
Satu hal disembunyikan oleh Nyai Kartareja terhadap siapa pun. Itu, ketika dia meniupkan mantra pekasih
ke ubun-ubun Srintil. Mantra yang di Dukuh Paruk dipercaya akan membuat siapa saja tampak lebih cantik
dari yang sebenarnya;
uluk-uluk perkutut manggung
teka saka ngendi,
teka saka tanah sabrang
pakanmu apa,
pakanku madu tawon
manis madu tawon,
ora manis kaya putuku, Srintil.
Konon bukan hanya itu.
Beberapa susuk emas dipasang oleh Nyai Sakarya di tubuh Srintil.
Orang-orang yang sudah berkumpul hendak melihat Srintil menari mulai gelisah. Mereka sudah begitu
rindu akan suara calung. Belasan tahun lamanya mereka tidak melihat pagelaran ronggeng. Maka bukan
main senang hati mereka ketika mendengar Kartareja bersuara; pertunjukan akan dimulai.
Lingkaran yang terdiri atas warga Dukuh Paruk segera terbentuk. Tiga penabuh duduk bersila menghadapi
perangkat pengiring; sebuah gendang, dua calung dan sebuah gong tiup yang terbuat dari seruas bambu
besar. Sehelai tikar tersedia bagi tempat Srintil menari. Sakum yang menghadapi calung besar cepat
menjadi perhatian orang. Tampaknya dia tidak mengutuk matanya yang buta. Sakum hanya tersenyum.
Cengar-cengir. Kedua tangannya memegang pemukul calung, siap menunggu aba-aba gendang.
Ketika Srintil muncul dituntun Nyai Kartareja, semua mata terarah kepadanya. Rasus yang berdiri di
lapisan penonton paling depan ternganga. Dia tak percaya dirinya telah mencium Srintil beberapa hari
yang lalu. Srintil didudukkan di tengah tikar. Tidak bergerak, bahkan dia tidak menggulirkan bola
matanya. Kartareja muncul dengan pedupaan yang dibawanya berkeliling arena. Tungku kecil yang
mengepulkan asap kemenyan itu kemudian diletakannya dekat gendang.
Hening.
Tanggapan hanya berupa bisik-bisik lirih. Seorang perempuan menggamit lengan teman di sebelahnya,
memuji kecantikan Srintil. Rasus Warta dan Darsun memandang boneka di tengah tikar itu tanpa kedipan
mata. Srintil, yang sering menari di bawah pohon nangka kini tampil di tengah pentas.
Kepada tukang gendang, Kartareja memberi isyarat. Detik berikutnya bergemalah irama calung yang
dikembari tepuk tangan hampir semua warga Dukuh Paruk. Sakum mulai bertingkah. Dengan
lenggang-lenggok jenaka ia memainkan calungnya. Satu-dua seruan cabul mulai meluncur dari mulutnya.
Setiap kali berseru, Sakum mendapat tepuk tangan yang riuh.
Penonton menunda kedipan mata ketika Srintil bangkit. Hanya dituntun oleh nalurinya, Srintil mulai
menari. Matanya setengah terpejam. Sakarya yang berdiri di samping Kartareja memperhatikan ulah
cucunya dengan seksama. Dia ingin membuktikan kata-katanya, bahwa dalam tubuh Srintil telah
bersemayam indang ronggeng. Dan Kartareja, sang dukun ronggeng mendapat kenyataan seperti itu.
Ketika Srintil menyanyikan lagu yang sulit-sulit, yang pasti dia belum pernah mempelajarinya, bulatlah
hati Kartareja. Dia harus percaya bahwa Srintil mendapat indang. Kartareja percaya penuh, Srintil
dilahirkan di Dukuh Paruk atas restu arwah Ki Secamenegala dengan tugas menjadi ronggeng. Penampilan
Srintil yang pertama, membuat Kartareja mengangguk dan mengangguk. “Sakarya tidak berlebihan dengan
kata-katanya beberapa hari yang lalu,” pikir Kartareja.
Selama menari wajah Srintit dingin. Pesonanya mencekam setiap penonton. Banyak orang terharu dan
kagum melihat bagaimana Srintil melempar sampur. Bahkan Srintil mampu melentikkan jari-jari tangan,
sebuah gerakan yang paling sulit dilakukan oleh seorang ronggeng. Penampilan Srintil masih dibumbui
dengan ulah Sakum lestari kocak dan cabul. Suara “cesss” tak pernah luput pada saat Srintil menggoyang
pinggul.
Satu babak telah usai. Calung berhenti, dan Srintil kembali duduk. Gumam penonton terdengar. Seorang
perempuan mengisak. Rasa harunya setelah melihat Srintil menari menyebabkan air matanya menetes.
“Tak kusangka Srintil bisa menari sebagus itu,” katanya. “Kalau boleh aku ingin menggendongnya,
membuainya sampai dia lelap di pangkuanku.”
“Yah, aku pun ingin mencuci pakaiannya. Aku akan memandikannya besok pagi,” kata perempuan lainnya.
“Eh, kalian dengar. Srintil bukan milik orang per orang. Bukan hanya kalian yang ingin memanjakan Srintil.
Sehabis pertunjukan nanti aku mau minta ijin kepada Nyai Kartareja.”
“Engkau mau apa?”
“Memijat Srintil. Bocah ayu itu pasti lelah nanti. Dia akan kubelai sebelum tidur.”
“Yah, Srintil. Bocah kenes, bocah kewes. Andaikata dia lahir dari perutku!” kata perempuan lainnya lagi.
Berkata demikian, perempuan itu mengusap matanya sendiri. Kemudian membersihkan air mata yang
menetes dari hidung.
Rasus yang sejak semula berdiri tak bergerak di tempatnya mendengar segala pergunjingan itu. Anak
laki-laki berusia tiga belas tahun itu merasa ada sesuatu yang terlangkahi di hatinya. Ia merasa Srintil
telah menjadi milik semua orang Dukuh Paruk. Rasus cemas tidak bisa lagi bermain sepuasnya dengan
Srintil di bawah pohon nangka. Tetapi Rasus tak berkata apa pun. Dia tetap terpaku di tempatnya sampai
pentas itu berakhir hampir tengah malam.
Orang-orang Dukuh Paruk pulang ke rumah masing-masing. Mereka, baik lelaki maupun perempuan,
membawa kenangan yang dalam. Malam itu kenangan atas Srintil meliputi semua orang Dukuh Paruk.
Penampilan Srintil malam itu mengingatkan kembali bencana yang menimpa Dukuh Paruk sebelas tahun
yang lalu.
Srintil adalah seorang yatim piatu-sisa sebuah malapetaka, yang membuat banyak anak Dukuh Paruk
kehilangan ayah-ibu.
Sebelas tahun yang lalu ketika Srintil masih bayi. Dukuh Paruk yang kecil basah kuyup tersiram hujan
lebat. Dalam kegelapan yang pekat, pemukiman terpencil itu lengang, amat lengang.
Hanya tangis bayi dan lampu kecil berkelip menandakan pedukuhan itu berpenghuni. Tak ada suara
kecuali suara kodok. Bangsa reptil itu berpesta pora, bertunggangan dan kawin. Besok pagi, hasil pesta
mereka akan tampak. Kodok betina meninggalkan untaian telur yang panjang. Katak hijau menghimpun
telurnya dalam kelompok yang terapung di permukaan air. Katak daun menyimpan telurnya pada
gumpalan busa yang melekat pada ranting semak-semak.
Seandainya ada seorang di Dukuh Paruk yang pernah bersekolah, dia dapat mengira-ngira saat itu hampir
pukul dua belas tengah malam, tahun 1946. Semua penghuni pedukuhan itu telah tidur pulas, kecuali
Santayib, ayah Srintil. Dia sedang mengakhiri pekerjaannya malam ini. Bungkil ampas minyak kelapa yang
telah ditumbuk halus dibilas dalam air. Setelah dituntas kemudian dikukus. Turun dari tungku, bahan ini
diratakan dalam sebuah tampah besar dan ditaburi ragi bila sudah dingin. Besok hari pada bungkil ampas
minyak kelapa itu akan tumbuh jamur-jamur halus. Jadilah tempe bongkrek. Sudah sejak lama Santayib
memenuhi kebutuhan orang Dukuh Paruk akan tempe itu.
Selesai dengan pekerjaan malam itu, Santayib berangkat tidur. Sepi. Dukuh Paruk dengan semua
penghuninya larut bersama malam yang dingin dan lembab. Srintil yang masih bayi acap kali terjaga bila
popoknya basah. Bila kainnya sudah diganti Srintil lelap kembali di ketiak ibunya.
Tetes-tetes air yang tersisa di pucuk-pucuk daun jatuh ke bawah. Bunyi keletak-keletik terdengar bila
butir air itu menimpa daun pisang atau daun keladi. Seekor burung celepuk hinggap tenang pada sebuah
dahan yang rendah. Matanya yang awas menatap ke permukaan air di kubangan. Bila melihat katak,
burung malam itu menukik tanpa suara, hinggap di dahan lagi dengan korban di mulutnya. Perburuan baru
akan berhenti bila tembolok burung celepuk itu telah penuh daging segar. Pertanda telah kenyang, dia
akan mengeluarkan suara berat: guk-guk-guk, hrrrrr. Suara hantu. Suara yang membuat setiap anak yang
mendengarnya segera mencari selangkangan ibunya.
Sinar bulan tidak mampu menembus tirai awan. Di langit timur bulan hanya membuat rona kuning. Kilat
acap kali membuat benderang sesaat, meninggalkan garis kemilau yang patah-patah. Gema guruh
berkepanjangan. Hilang gaungnya, Dukuh Paruk kembali didaulat suara bangsa kodok. Hujan yang
kemudian turun kembali membuat Dukuh Paruk semakin kecil dan beku.
Tak seorang pun di Dukuh Paruk tahu.
Segumpal cahaya kemerahan datang dari langit menuju Dukuh Paruk. Sampai di atas pedukuhan cahaya itu
pecah, menyebar ke segala arah. Seandainya ada manusia Dukuh Paruk yang melihatnya, dia akan
berteriak sekeras-kerasnya. “Antu tawa. Antu tawa. Awas ada antu tawa! Tutup semua tempayan! Tutup
semua makanan!”
Namun semua orang tetap tidur nyenyak. Cahaya alarm yang dipercaya sebagai pembawa petaka datang
tanpa seorang pun melawannya dengan tolak bala. Kecuali kambing-kambing yang mengembik di kandang.
Kecuali keributan kecil di kurungan ayam. Dan burung hantu yang mendadak berbunyi bersahutan. Dari
rimbun beringin di atas makam Ki Secamenggala itu burung-burung hantu meneriakkan gema berwibawa.
Beku dan kebisuan berjalan sampai fajar menjelang. Makin sering terdengar suara tangis bayi. Juga embik
kambing yang mulai lapar. Hujan yang tinggal rinai gerimis menciptakan bianglala di timur. Hanya suara
kodok yang sejak sore hari tetap ramai. Kokok ayam dan cericit tikus busuk yang mencari sarangnya di
balik batu-batu besar.
Meski Santayib orang yang paling akhir pergi tidur, namun dia pulalah yang pertama kali terjaga di Dukuh
Paruk. Disusul kemudian oleh istrinya. Srintil, bayi yang manis. Dia biasa tergolek sendiri meskipun kedua
orang tuanya mulai sibuk bekerja. Suami-istri Santayib menyiapkan dagangannya; tempe bongkrek.
Sebelum matahari terbit akan datang para tetangga yang akan membeli bongkrek. Kecuali hari pasaran
Santayib hanya menjual dagangannya kepada para tetangga.
Hari mulai terang. Di halaman rumah Santayib seekor kodok melompat satu-dua mencari tempatnya yang
gelap di kolong balai-balai. Sekelompok lainnya masih berenang dan kawin di kubangan. Kampret dan
kalong berebut masuk ke sarangnya kembali. Boleh jadi mereka masih lapar karena hujan mengacau
perburuan mereka. Namun binatang mengirap itu taat kepada alam. Atau mereka akan dikejar dan
dimangsa burung gagak bila pulang terlambat.
Beberapa anak telah turun dari balai-balai, lari ke depan pintu bambu dan kencing di sana. Atau lari ke
kakus terbuka di belakang rumah. Lalat berhamburan. Seekor burung sikatan mencecet menyambar
makanannya, lalat hijau. Sesekali burung kecil yang gesit itu terbang menyambar agas yang
berputar-putar di atas kepala si bocah.
Liang kumbang tahi ada di mana-mana di sekitar kakus. Serangga kotor ini mempunyai cara yang aneh bila
hendak membawa tinja ke liangnya. Ia berjalan mundur sambil menolak bulatan kotoran manusia sebesar
buah jarak dengan kaki-kaki belakangnya. Alam yang bijaksana, telah mengajari bangsa kumbang tahi.
Walaupun ia berjalan mundur, lintasan jalannya akan berakhir persis di mulut liang. Di sana gumpalan
tinja itu ditolak ke dalam tanah. Di sana pula bangsa kumbang tahi menaruh telur bagi kelangsungan hidup
jenisnya.
Satu-dua orang telah datang membeli bongkrek. Istri Santayib melayani mereka. Celoteh antar-perempuan
terdengar akrab. Kemanisan pergaulan kampung yang lugu.
“Srintil belum bangun?”
“Belum,” jawab istri Santayib. “Srintil bayi yang tahu diri. Rupanya dia tahu aku harus melayani sampean
setiap pagi.”
“Ah, sungguh beruntung kalian mempunyai seorang bayi yang anteng.”
“Betul. Kalau tidak, wah, sungguh repot kami.”
“Bongkrekmu tidak dicampur dedak, bukan?”
“Oalah, tidak. Kemarin Kang Santayib mendapat bungkil yang baik. Kering dan harum. Cobalah,
bongkrekku manis sekali hari ini.”
“Syukur. Pagi ini kami seisi rumah makan nasi padi bengawan. Simpanan terakhir buat benih kami tumbuk.
Apa boleh buat, kami sudah sebulan makan nasi gaplek. Hari ini kami menanak nasi.”
“Wah. Sayur bongkrek campur toge dengan nasi padi bengawan. Hidangkan ketika masih hangat. Boleh
aku makan di rumahmu?” seloroh istri Santayib.
“Pasti boleh. Ayolah.”
“Terima kasih. Aku hanya berolok-olok.”
Dukuh Paruk mulai hidup. Dentum lesung berisi gaplek yang ditumbuk. Bunyi minyak panas di wajan yang
dikenai adonan tepung pembungkus tempe bongkrek. Atau gemerencing keliningan di leher anak kambing
yang menyusu tetek induknya yang merekah. Seekor induk ayam berkotek keras-keras karena burung elang
menyambar seekor anaknya. Anak-anak merengek minta makan. Seorang perempuan di dapur menghardik
anaknya yang tidak sabar menunggu nasi gaplek masak ditanak.
Bila anak-anak Dukuh Paruk sudah lari ke luar dan menyobek sehelai daun pisang, berarti sarapan pagi
telah siap. Hanya beberapa di antara mereka yang biasa menggunakan piring. Mereka makan di emper
rumah, di ambang pintu atau di mana pun mereka suka. Semua makanan enak sebab perut anak-anak
Dukuh Paruk tidak pernah benar-benar kenyang.
Matahari naik. Panasnya mulai menyengat. Panas yang telah mengubah warna rambut orang dan anak
Dukuh Paruk menjadi merah. Kulit kehitaman bersisik. Dukuh Paruk yang tadi malam basah kuyup kini
terjerang. Panas dan lembab. Namun selamanya Dukuh Paruk menurut pada alam. Orang-orang dewasa
tetap bekeria di ladang atau sawah. Anak-anak pergi dengan binatang gembalaannya. Hari itu tak terjadi
kelainan di pemukiman terpencil itu.
Namun semuanya berubah menjelang tengah hari.
Seorang anak berlari-lari dari sawah sambil memegangi perut. Di depan pintu rumahnya dia muntah,
terhuyung dan jatuh pingsan. Ibunya yang sudah mulai merasakan sakit menyengat kepalanya, menjerit
dan memanggil para tetangga. Sebelum para tetangga datang, anak itu telah meregang nyawa. Bahkan
ibunya pun jatuh tak sadarkan diri dengan rona biru di wajahnya. Ibu dan anak terkulai di tanah. Jerit dari
rumah pertama memulai kepanikan di Dukuh Paruk.
Orang-orang yang bekerja di luar rumah bergegas pulang. Mereka mendengar suara jerit minta tolong.
Atau mereka sendiri mulai merasa dunia berputar-putar. Seorang lelaki bahkan digendong oleh temannya
karena dia tidak lagi mampu berjalan. Di perkampungan, suara minta tolong terdengar dari setiap rumah.
Pada akhirnya setiap keluarga terlibat dalam hiruk-pikuknya sendiri, kengeriannya sendiri.
Tolong-menolong antar keluarga tak mungkin dilakukan. Bahkan sementara ibu harus melihat anak atau
suaminya menggeliat mempertahankan nyawa tanpa bisa berbuat apa pun karena dirinya sendiri berada
antara hidup dan mati.
Kebodohan memang pusaka khas Dukuh Paruk. Namun setidaknya orang-orang di sana bisa berfikir
mencari sebab malapateka hari itu. Tidak semua warga Dukuh Paruk pusing, muntah lalu terkulai. Ada
sementara mereka yang tetap segar. Dan mereka adalah orang-orang yang tidak makan tempe bongkrek
buatan Santayib.
Jadi.
Dalam haru-biru kepanikan itu kata-kata “wuru bongkrek” mulai diteriakkan orang. Keracunan tempe
bongkrek. Santayib, pembuat tempe bongkrek itu, sudah mendengar teriakan demikian. Hatinya ingin
dengan sengit membantahnya. Namun nuraninya juga berbicara, “Santayib, bongkrekmu akan membunuh
banyak orang di Dukuh Paruk ini.”
Pergulatan berkecamuk sendiri di hati ayah Srintil itu. Karena ketegangan jiwa, tubuh Santayib gemetar.
Bibir memucat dan nafas memburu. Istrinya yang mulai dirayapi perasaan sama, malah mulai menangis
ketakutan. Suami istri itu memang tidak ikut makan tempe buatan sendiri karena sudah bosan. Istri
Santayib mendekati suaminya yang sedang duduk gelisah di atas lincak.
“Kang, orang-orang itu geger. Banyak tetangga yang sakit dan pingsan. Ini bagaimana, Kang?”
Santayib membisu. Ketegangannya makin menjadi-jadi. Melihat laki-laki itu diam, istrinya berseru lagi.
“Kang, apa tidak kaudengar orang-orang mengatakan mereka keracunan tempe bongkrek? Bongkrek yang
kita buat? Ini bagaimana, Kang?”
Sekali ini pun Santayib tetap membeku. Hanya dadanya turun-naik lebih cepat. Perang antara suara hati
dan suara nuraninya semakin seru. Fitrahnya sebagai manusia ingin menolak keburukan yang akan datang
menimpanya. Santayib mengerti kenyataan yang dihadapi hampir mustahil terbantah. Dia akan dituntut
tanggung jawab sebagai pembuat bongkrek yang mendatangkan petaka. Nuraninya sendiri akan menuntut
demikian pula.
Di tengah kebimbangan demikian, muncullah Sakarya, ayah Santayib sendiri. Di belakang Sakarya
menyusul tiga orang laki-laki lain. Ketiganya dengan wajah berang.
“Oalah! Oalah! Santayib, anakku. Orang-orang itu mabuk keracunan bongkrek. Bongkrekmu mengandung
racun.”
Berkata demikian, Sakarya hendak berjalan ke dalam rumah anaknya, ingin melihat bongkrek yang tersisa.
Tiba-tiba Santayib berdiri. Perang antara perasaan menolak dan menerima tuduhan bertanggung jawab
muncul menjadi momen murka. Santayib tegak pada kedua kakinya yang bergetar. Suara lantang
ditujukan kepada empat laki-laki di hadapannya.
“Tidak! Bongkrekku tidak mungkin beracun. Bahannya bungkil yang kering. Tidak bercampur apa pun.
Ayah, engkau jangan mengajak orang menuduh anakmu sendiri dengan keji!”
“He, Santayib. Bukti yang berbicara. Lihat, anakku, istriku, emakku, semua tergeletak. Mereka makan
bongkrekmu pagi ini,” bentak seorang laki-laki di belakang Sakarya.
“Tidak bisa! Siapa tahu kejadian ini adalah pageblug. Siapa tahu kejadian ini karena kutuk roh Ki
Secamenggala yang telah lama tidak diberi sesaji. Siapa tahu!”
“He, barangkali engkau merambang bungkil dengan bokor tembaga,” seru laki-laki lainnya. Sehabis
bertanya demikian laki-laki itu berlari ke sumur. Benar. Di sana dia menemukan sebuah bokor tembaga.
Ada lapisan membiru, warna asam tembaga. Bokor ini dibawanya ke depan orang banyak. Dia berteriak
bagai orang gila.
“Santayib. Engkau anjing! Asu buntung. Lihat, bokor ini biru karena beracun. Asu buntung. Engkau telah
membunuh semua orang. Engkau... engkau aaasssu... ”
Laki-laki yang hendak melempar Santayib dengan bokor itu tak kuasa meneruskan niatnya. Kepalanya
berputar. Ususnya terasa melilit. Wajah dan dadanya terasa panas. Gemetar dan jatuh terjerembab.
Kepanikan masih ditambah dengan munculnya seorang perempuan yang berlari sambil mengangkat kain
tinggi-tinggi. Tudingan jari telunjuknya mengarah lurus ke arah bola mata Santayib.
“Oalaaah, Santayib. Dua orang cucuku tergeletak karena makan bongkrekmu. Mereka akan segera mati.
Hayo, bagaimana Santayib! Aku minta tanggung jawab. Engkau hutang nyawa padaku. Tolong cucu-cucuku
sekarang. Hayo!”
Rasa getir, kelu, dan bimbang mencekam hati Santayib. Dia bingung, amat bingung. Kekacauan hatinya
tergambar pada roman muka yang tidak menentu. Istri Santayib berlari hilir-mudik, menangis dan
memeluk Srintil. Seperti mengerti segalanya, Srintil pun ikut menangis keras-keras. Boleh jadi kesadaran
Santayib hanya tinggal sebagian ketika dia lari masuk ke dalam. Keluar lagi dengan seonggok bongkrek di
kedua tangannya. Lengking suaranya membuat siapa pun meremang bulu kuduk.
“Bajingan! Kalian semua bajingan tengik! Betapapun bongkrekku tak bersangkut-paut dengan malapetaka
ini. Lihat! Akan kutelan bongkrek ini banyak-banyak. Kalau benar ada racun, pasti aku akan segera
sekarat!”
Secara menyolok Santayib memasukkan bongkrek ke dalam mulutnya. Tanpa mengunyah, makanan itu
cepat ditelannya. Pada mulanya, istri Santayib terpana. Tetapi rasa setia kawan menyuruhnya segera
bertindak. Sambil membopong Srintil, perempuan itu ikut mengambil bongkrek dari tangan Santayib dan
langsung menelannya.
Sejenak Sakarya terbelalak. Di depan matanya sendiri Sakarya melihat anak dan menantunya menentang
racun. Tergagap laki-laki tua itu meratap.
“Jangan. Oalah, Santayib, jangan. Engkau anakku, jangan menantang kematian. Jangan!”
Sakarya hendak melompat ke depan. Ingin ditepiskannya tangan Santayib yang menggenggam bongkrek.
Malah ingin dikoreknya mulut anak dan menantunya agar makanan beracun itu keluar kembali. Itu
kehendak Sakarya. Tetapi ambang pintu rumah Santayib lain kemauannya. Sakarya yang ingin bergerak
secepatnya tersandung ambang pintu, jatuh dengan kepala membentur tiang kayu. Tubuhnya terjajar
bersama laki-laki pertama yang gagal melempar Santayib dengan bokor tembaga.
Dua tubuh laki-laki terkapar. Satu di antaranya adalah Sakarya, ayah Santayib sendiri. Laki-laki pertama
lunglai oleh racun tempe bongkrek, dan yang kedua pingsan karena kepalanya terbentur tiang kayu. Dua
laki-laki lainnya berlalu meninggalkan rumah Santayib. Mereka tentu mempunyai kenangan berkesan atas
dua tubuh yang tergolek di tanah dan sepasang suami-istri yang sengaja menelan tempe beracun.
Gumpalan bongkrek terakhir sudah lewat melalui kerongkongan Santayib. Dia menoleh istrinya yang
semula berdiri di sampingnya ikut mengunyah bongkrek. Tetapi perempuan itu telah menghilang ke dalam
bilik sambil membopong Srintil.
Kebekuan yang mencekam meliputi rumah Santayib. Dia termangu. Dia tidak berbuat apa pun terhadap
dua tubuh laki-laki yang melingkar di tanah. Tidak. Santayib pun membiarkan ayah kandungnya dalam
keadaan tak sadarkan diri.
Apa yang terjadi kemudian hanya bisa diperbuat oleh orang tidak waras. Santayib tertawa terbahak-bahak
lalu berlari ke luar rumah. Sambil berjalan melompat-lompat, dicacinya semua orang dengan ucapan yang
paling kasar dan cabul. Dukuh Paruk dikelilinginya. Santayib tidak peduli atas kepanikan luar biasa yang
sedang melanda para tetangga. Tatapan matanya jalang. Teriakannya membabi buta.
“Kalian, orang Dukuh Paruk. Buka matamu, ini Santayib! Aku telah menelan seraup tempe bongkrek yang
kalian katakan beracun. Dasar kalian semua, asu buntung! Aku tetap segar-bugar meski perutku penuh
tempe bongkrek. Kalian mau mampus, mampuslah. Jangan katakan tempeku mengandung racun. Kalian
terkena kutuk Ki Secamenggala, bukan termakan racun. Kalian memang asu buntung yang sepantasnya
mampus!”
Lelah berteriak-teriak, Santayib pulang. Di depan rumahnya dia berpapasan dengan beberapa orang yang
menggotong laki-laki yang tadi hendak melempar Santayib dengan bokor tembaga. Sakarya masih pingsan,
terkulai dekat ambang pintu.
Sejenak Santayib tertegun. Digoyangnya tubuh Sakarya yang tetap pingsan. Kemudian Santayib berlalu.
Tetapi kepalanya serasa melayang ketika dia bangkit. Kelap-kelip seribu kunang-kunang di matanya.
Sengatan pertama terasa menusuk lambungnya.
Santayib terus melangkah menuju bilik tidurnya. Derit daun pintu bambu. Tampak istrinya tidur tengadah
dengan keringat membasahi badannya. Wajahnya pucat kebiruan. Terkadang perempuan itu meringis bila
merasa urat-urat di perutnya menegang.
Tetapi Srintil berceloteh lucu sekali di samping tubuh ibunya.
Meskipun terasa rumah berayun-ayun, istri Santayib tahu suaminya datang. Dengan menggigil perempuan
itu berusaha duduk di bibir balai-balai.
Suami-istri saling pandang. Mereka, dua manusia yang telah menerima sasmita dari pencipta Dukuh Paruk.
Keduanya berpandangan dengan cara aneh. Keduanya membisu. Bayangan Santayib diterima oleh lensa
mata istrinya, kemudian dijabarkan secara kacau-balau oleh syaraf mata. Maka istri Santayib tidak melihat
sosok suaminya, melainkan sebuah bayangan bergerak yang amat menakutkan.
Wajah istri Santayib semakin pucat. Rona kengerian. Kelopak matanya membuka lebar-lebar sehingga
retina hanya berupa titik hitam di tengah bulatan putih. Mulutnya ternganga seperti dia hendak berteriak
keras.
Santayib pun demikian. Sesungguhnya gendang telinganya menangkap suara celoteh Srintil yang lucu
menawan. Tetapi Santayib mendengarnya sebagai hiruk-pikuk suara ribuan monyet di pekuburan Dukuh
Paruk. Santayib juga melihat beratus-ratus mayat bangkit, dengan kacau-balau memukuli calung sampai
tulang-tulang mereka rontok. Mata Santayib terbeliak dengan mulut ternganga. Ketika Santayib melihat
bayangan Ki Secamenggala menjulurkan tangan hendak mencekik lehernya, dia hendak berteriak. Namun
semua urat di lehernya kaku.
Beku yang mencekam. Santayib sudah berdiri goyah. Istrinya duduk menggigil. Keduanya tidak saling
pandang. Hanya daya manusiawi terakhir memungkinkan suami-istri itu masih sempat berbicara. Suara
mereka terdengar dari tenggorokan yang hampir tertutup.
“Kang,” kata istri Santayib dengan mata terbeliak lurus ke depan.
“Hhh?”
“Srintil, Kang, Bersama siapakah nanti anak kita, Kang?”
“Hhhh?”
“Aku tak tega meninggalkannya, Kang.”
Santayib hanya kuasa menelan ludah. Sementara itu Srintil meronta manja di atas tikar. Santayib ingin
memandangnya. Tetapi penglihatannya telah baur. Srintil yang bergerak lucu hanya tampak sebagai hantu
yang menakutkan. Santayib menikmati kesadarannya yang terakhir ketika melihat istrinya roboh ke
belakang. Dia pun segera terkulai setelah dari mulutnya keluar umpatan; “bongkrek asu buntung. “ Istri
Santayib meninggal ketika dia berusaha memiringkan badannya hendak memeluk Srintil.
Bau kematian telah tercium oleh burung-burung gagak. Unggas buruk yang serba hitam itu terbang
berputar-putar di antara pepohonan di Dukuh Paruk. Suaranya yang serak hanya mendatangkan benci.
Tetapi hari itu burung-burung gagak bersuka-ria di Dukuh Paruk. Mereka berteriak-teriak dari siang sampai
malam tiba.
Maut bekerja dengan sabar dan pasti. Maut telah berpengalaman dalam pekerjaannya sejak kematian yang
pertama. Tanpa terganggu oleh jerit dan ratap tangis, maut terus menjemput orang-orang Dukuh Paruk.
Hari itu sembilan orang dewasa meninggal. Dua di antaranya adalah suami-istri Santayib. Juga sebelas
anak-anak tidak tertolong. Jumlah itu merupakan lebih dari separo anak di pedukuhan itu. Belasan anak
lainnya menjadi yatim-piatu pada hari yang sama.
Meski Santayib dan istrinya meninggal ketika hari masih siang, mayat mereka tidak segera ditanam. Semua
orang di Dukuh Paruk sibuk dengan mayat keluarga masing-masing. Atau merawat orang-orang yang masih
bertahan hidup. Orang-orang Dukuh Paruk mempunyai cara sederhana menolong orang termakan racun.
Air kelapa bercampur garam menjadi pencahar yang lumayan mujarab. Juga air yang bercampur abu
dapur. Kalau orang keracunan bisa muntah setelah minum pencahar ini, ada harapan hidup baginya.
Celakanya, penggunaan pencahar yang tak terkendali sering pula membawa kematian. Orang Dukuh Paruk
sendiri tak tahu, banyak teman mereka bukan mati oleh racun bongkrek, melainkan karena kekurangan
cairan pada tubuh mereka, akibat terlalu banyak muntah.
Malam hari, Sakarya bersama istrinya menunggui mayat anak mereka; Santayib suami-istri. Srintil sering
menangis. Bayi itu belum merasakan sedih. Srintil menangis karena air susu tak lagi diperolehnya. Oleh
Nyai Sakarya, Srintil diberi hidup dengan air tajin. Walaupun sedang menunggu mayat anak dan
menantunya, tengah malam Sakarya keluar menuju makam Ki Secamenggala. Laki-laki itu menangis
seorang diri di sana. Dalam kesedihannya yang amat sangat, Sakarya mengadukan malapetaka yang terjadi
kepada moyang orang Dukuh Paruk. Sakarya tidak lupa, dirinya menjadi kamitua di pedukuhan itu.
Keluar dari pekuburan Sakarya berkeliling pedukuhan. Dijenguknya setiap rumah. Setiap kali membuka
pintu Sakarya mendapat kesedihan. Bahkan tidak jarang Sakarya mendapat perlakuan yang tidak enak.
Seolah-olah dia harus ikut bertanggung jawab atas dosa anaknya, Santayib. Meskipun demikian tak sebuah
rumah dilewati oleh Sakarya.
Selesai berkunjung ke setiap rumah, Sakarya kembali mengelilingi pedukuhan. Kali ini dia berjalan di
tepian kampung. Di kaki bukit kecil di pekuburan Dukuh Paruk, Sakarya berdiri bersilang tangan. Dalam
keheningan yang mencekam, laki-laki tua itu mencoba menghubungkan batinnya dengan ruh Ki
Secamenggala atau siapa saja yang menguasai alam Dukuh Paruk. Sarana yang diajarkan oleh nenek
moyangnya adalah sebuah kidung yang dinyanyikan oleh Sakarya dengan segenap perasaannya;
Ana kidung rumeksa ing wengi
Teguh ayu luputing lara
Luputa bilahi kabeh
Jin setan datan purun
Paneluhan datan ana wani
Miwah penggawe ala
Gunaning wong luput
Geni atemahan tirta
Maling adoh tan ana ngarah mring mami
Guna duduk pan sirna...
Adalah gita penjaga sang malam. Tetaplah selamat, lepas dari segala petaka. Luputlah segala mara
bencana. Jin dan setan takkan mengharu-biru, teluh takkan mengena. Serta segala perilaku jahat, ilmu
para manusia sesat. Padam seperti api tersiram air. Pencuri takkan membuatku menjadi sasaran.
Guna-guna serta penyakit akan sirna...
Alam membisu mendengar ratap Sakarya. Dukuh Paruk bungkam. Hanya kadang terdengar keluh sakit.
Atau tangis orang-orang yang menyaksikan saudara meregang nyawa. Bau bunga sedap malam dikalahkan
oleh asap kemenyan yang mengepul dari semua rumah di Dukuh Paruk, pedukuhan yang berduka ketika
Srintil genap berusia lima bulan.
*
Malapetaka itu masih diingat benar oleh semua orang Dukuh Paruk. Seorang nenek telah belasan kali
menceriterakannya kepada Rasus, cucunya, Tentu saja nenek itu adalah nenekku sendiri karena di Dukuh
Paruk hanya ada seorang bernama Rasus yaitu diriku.
Sayang.
Dukuh Paruk dengan segala isinya termasuk ceritera Nenek itu hanya bisa kurekam setelah aku dewasa.
Apa yang kualami sejak kanak-kanak kusimpan dalam ingatan yang serba sederhana. Dengan kemampuan
seorang anak pula, kurangkaikan ceritera sepotong-sepotong yang kudengar dari kiri-kanan. Baru setelah
aku menginjak usia dua puluh tahun, aku mampu menyusunnya menjadi sebuah catatan. Memang
menyedihkan. Catatan ini tidak lebih daripada sebuah evaluasi perjalanan hidup seorang anak Dukuh
Paruk. Bahkan hal itu pun mustahil kulaksanakan sebelum aku melewati liku-liku panjang sampai aku
menemukan diriku sendiri. Ibarat meniti sebuah titian panjang dan berbahaya, aku hanya bisa
menceriterakannya kembali, mengulas serta merekamnya setelah aku sampai di seberang.
Sebagian ceritera Nenek kupercayai sebagai kebenaran. Sebagian lagi kuanggap sebagai bagian legenda
khas Dukuh Paruk. Lainnya lagi menjadi kisah yang malah membuatku selalu tidak puas. Legenda khas
Dukuh Paruk misalnya kisah Nenek tentang fenomena di pekuburan Dukuh Paruk malam hari ketika terjadi
bencana itu. Nenek mengatakan banyak obor terlihat di atas kerimbunan pohon beringin di atas makam Ki
Secamenggala. Dari pekuburan itu terdengar suara tangis bersahutan. Nenek juga mengatakan bayangan
Ki Secamenggala keluar, mendatangi setiap mayat yang malam itu belum satu pun sempat dikubur.
Bahkan Sakarya mendengar Ki Secamenggala mengatakan kematian delapan belas warga Dukuh Paruk
adalah kehendaknya. Selama hidupnya menjadi bromocorah, Ki Secamenggala berutang nyawa sebanyak
itu, maka nyawa keturunannya dipakai sebagai tebusan.
Beberapa hari sebelum terjadi malapetaka itu telah terlihat berbagai pertanda. Pancuran di Dukuh Paruk
mengeluarkan air berbau busuk. Pohon-pohon puring di pekuburan melayu, tetapi pohon semboja malah
berbunga. Meskipun belum waktunya, anjing-anjing berdatangan ke Dukuh Paruk. Anjing-anjing jantan
berebut betina dalam kegaduhan yang mengerikan. Burung kedasih berbunyi sejak malam tiba sampai
terbit fajar.
Itu kisah tetek-bengek yang begitu diyakini oleh setiap orang Dukuh Paruk. Siapa pun takkan berhasil
mengubah keyakinan itu. Juga orang tak perlu mengutuk warga Dukuh Paruk yang percaya penuh bahwa
asam tembaga adalah satu-satunya penyebab bencana. Di kemudian hari aku diberi tahu asam tembaga
benar racun. Namun sepanjang menyangkut malapetaka tempe bongkrek, asam tembaga tak terbukti
berperan. Kesalahan harus ditimpakan kepada bakteria jenis pseudomonas coccovenenans yang ikut
tumbuh pada bongkrek dalam peragian. Bakteria itu menghasilkan racun kuat yang menjadi cikal-bakal
kematian orang yang makan tempe bongkrek.
Tetapi orang akan sia-sia menyampaikan pengetahuan ini ke Dukuh Paruk. Di sana orang begitu yakin asam
tembaga adalah satu-satunya penyebab racun bongkrek. Demikian, dengan menghindarkan perkakas
tembaga orang Dukuh Paruk masih membuat tempe bongkrek. Jadi petaka yang terjadi ketika Srintil bayi
(kata Nenek aku berusia tiga tahun saat itu) bukan musibah pertama, bukan pula yang terakhir.
Aku sendiri, kata Nenek, selamat secara kebetulan. Selagi Ayah dan Emak baru merasa pusing di kepala,
aku sudah jatuh pingsan. Tanpa ada yang memberi petunjuk, Nenek menggali tanah berpasir di samping
rumah. Aku ditanamnya dalam posisi berdiri, hanya dengan kepala berada di atas permukaan tanah.
Sebenarnya, inilah cara orang Dukuh Paruk mengobati orang keracunan jengkol. Aneh, dengan cara ini
pula aku selamat dari racun tempe bongkrek.
Setelah dewasa, sekali aku pernah mencoba memikirkan hal ini. Boleh jadi dengan cara ditanam seperti
itu keringatku yang pasti mengandung racun cepat terserap oleh tanah dari semua pori di kulit tubuhku.
Dengan demikian kekuatan racun cepat berkurang. Ah, tetapi teori demikian sangat tidak patut dan hanya
akan mengundang tawa orang-orang pandai. Maka lebih baik kuikuti keyakinan Nenek, bahwa aku selamat
karena roh Ki Secamenggala belum menghendaki kematianku.
Ceritera Nenek yang paling membuatku penasaran adalah yang menyangkut Emak. Bersama Ayah, Emak
juga termakan racun. Bila Ayah langsung meninggal pada hari pertama, tidak demikian halnya dengan
Emak. Dia masih hidup sampai seorang mantri datang pada hari ketiga. Mantri yang berkumis dan bertopi
gabus itu menolong para korban yang masih bernyawa dengan cara menghardik; mengapa mereka makan
tempe bongkrek, makanan yang bahkan tidak pantas untuk anjing.
Oleh Pak Mantri, Emak bersama lima orang lainnya dibawa ke poliklinik di sebuah kota kawedanan.
Beberapa hari kemudian seorang kembali ke Dukuh Paruk dalam keadaan hidup, dan tiga lainnya sudah
menjadi mayat. Emak tidak ada di antara mereka.
Nenek selalu menghentikan ceriteranya di sini. Aku merasa pasti. Nenek mengetahui betul apa yang
terjadi pada Emak selanjutnya. Namun seperti semua orang Dukuh Paruk, Nenek selalu berusaba menutupi
kenyataan yang berlaku atas diri Emak.
Sampai usia empat belas tahun, ketika Srintil mulai menjadi ronggeng itu, aku berhasil mendapat sedikit
keterangan tentang diri Emak. Ada orang yang secara tak sengaja mengatakan Emak memang meninggal di
polikiinik kota kawedanan itu. Namun mayatnya dibawa ke kota kabupaten, di sana mayat Emak diiris-iris
oleh para dokter. Mereka ingin tahu lebih banyak mengenai racun tempe bongkrek. Dengan demikian
mayat Emak tidak pernah sampai kembali ke Dukuh Paruk. Di mana Emak dikubur tak seorang Dukuh Paruk
pun yang mengetahuinya.
Ada pula orang mengatakan Emak bisa diselamatkan. Namun sampai beherapa hari Emak tidak boleh
meninggalkan poliklinik. Kata orang itu, setelah Emak sehat benar dia pergi dari poliklinik itu. Bukan
pulang ke Dukuh Paruk, melainkan entah ke mana bersama mantri yang merawatnya.
Jadi ada dua versi kisah tentang Emak. Mana yang layak kupercaya aku sendiri selalu ragu. Namun
setidaknya aku berharap, versi pertamalah yang benar. Artinya memang Emak meninggal. Mayatnya lalu
dicincang untuk kepentingan penyelidikan. Pikiran durhaka semacam ini sengaja kudatangkan ke
kepalaku. Kuharap orang akan mengerti andaikata versi itu benar, hakekatnya lebih baik daripada
kebenaran versi kedua. Sayang, kedua-duanya tinggal menjadi ketidakpastian yang membuatku lebih
merana daripada seorang yatim-piatu.
Selama bertahun-tahun aku hanya bisa berandai-andai tentang Emak. Andaikan benar Emak dijadikan
bahan penyelidikan racun tempe bongkrek; maka mayat Emak dibedah. Organ pencernaannya dikeluarkan.
Juga jantung, bahkan pasti juga otaknya. Orang-orang pandai tentu ingin tahu pengaruh racun bongkrek
terhadap jaringan otot jantung, sel-sel otak serta bagaimana racun membunuh butir-butir sel darah
merah.
Darah Emak diperiksa untuk mengetahui sampai kadar berapa racun bongkrek yang terkandung cukup
mematikan. Kubayangkan hampir semua bagian organ tubuh Emak dicincang-cincang. Lalu ditaruh di
bawah lensa mikroskop atau diperiksa dalam berbagai perkakas laboratorium yang rumit. Terakhir, mayat
Emak yang sudah berantakan dan berbau formalin ditanam. Entah di mana, entah di mana. Orang-orang
pandai itu, siapa pun dia, merasa berhak menyembunyikan kubur Emak. Aku yang pernah sembilan bulan
bersemayam dalam rahim Emak tidak perlu mengetahuinya.
Dalam membayangkan pencincangan terhadap mayat Emak, aku tidak merasakan kengerian. Ini
pengakuanku yang jujur. Sebab bayangan demikian masih lebih baik bagiku daripada bayangan lain yang
juga mengusik angan-anganku. Itu andaikan Emak tidak meninggal melainkan pergi bersama si Mantri
entah ke mana.
Boleh jadi Emak hidup senang. Di luar Dukuh Paruk kehidupan selalu lebih baik; demikian keyakinanku
sepanjang usia. Mantri yang selalu bertopi gabus, berpakaian putih-putih dengan kumis panjang itu
mengawini Emak. Mereka beranak-pinak. Tentulah anak mereka berkulit bersih dengan betis montok dan
selalu beralas kaki pula. Setiap hari mereka makan nasi putih dengan lauk yang enak. Anak-anak itu, yang
hanya hidup dalam angan-anganku, pasti menganggap aneh kehidupan di Dukuh Paruk. Emak sendiri
mungkin merasa malu menceriterakan perihal kampung halamannya kepada anaknya yang baru.
Suatu saat kubayangkan Emak ingin pulang ke Dukuh Paruk, karena aku yakin dia perempuan yang baik.
Namun aku yakin pula mantriku itu pasti melarangnya. Atau Emak tak mungkin bisa kembali karena
bersama mantri itu mereka telah pergi ke Deli, tempat paling jauh yang pernah diceriterakan Nenek
kepadaku.
Ah, entahlah. Akhirnya kubiarkan Emak hidup abadi dalam alam angan-anganku. Terkadang Emak datang
sebagai angan-angan getir. Terkadang pula dia hadir memberi kesejukan padaku: Rasus, anak Dukuh Paruk
sejati. Bagaimanapun aku tak meragukan keberadaan Emak, seorang perempuan yang mengandung,
melahirkan kemudian menyusuiku. Itu sudah cukup.
Lebih baik sekarang kuhadapi hal yang lebih nyata. Srintil sudah menjadi ronggeng di dukuhku, Dukuh
Paruk. Usianya sebelas tahun. Aku empat belas tahun. Kini Srintil menjadi boneka. Semua orang ingin
menimangnya, ingin memanjakannya. Aka tahu sendiri perempuan Dukuh Paruk berganti-ganti mencucikan
pakaian Srintil. Mereka memandikannya dan menyediakan arang gagang padi buat keramas.
Siapa yang menebang pisang akan menyediakan sesisir yang terbaik buat Srintil. Kalau ada ayam dipotong
karena sakit (orang Dukuh Paruk takkan pernah sengaja memotong ayam), Srintil selalu mendapat bagian.
Teman-temanku sebaya, Warta dan Darsun, rela menempuh sarang semut burangrang di atas pohon
asalkan mereka dapat mencuri mangga atau jambu. Dengan buah-buahan itu Warta dan Darsun ikut
memanjakan Srintil.
Semua itu tak mengapa. Yang merisaukanku adalah ulah suami-istri Sakarya. Mereka melarang Srintil
keluar bermain-main di tepi kampung atau di bawah pohon nangka. Bila ingin melihatnya, aku harus
datang ke rumah Sakarya. Atau mengintip Srintil selagi dia mandi di pancuran. Aku mengerti maksud
Sakarya memingit cucunya. Dalam waktu sebulan telah terlihat perubahan pada diri Srintil. Rambutnya
yang tidak lagi terjerang terik matahari menjadi hitam pekat dan lebat. Kulitnya bersih dan hidup.
Sisik-sisik halus telah hilang. Pipinya bening sehingga aku dapat melihat jaringan halus urat-urat berwarna
kebiruan. Debu yang mengendap, menjadi daki, lenyap dari betis Srintil. Dan yang kuanggap luar biasa;
Nyai Sakarya berhasil mengusir bau busuk yang dulu sering menguap dari lubang telinga Srintil.
Pokoknya, pada usia empat belas tahun aku berani mengatakan Srintil cantik. Boleh jadi ukuran yang
kupakai buat menilai Srintil hanya patut bagi selera Dukuh Paruk. Namun setidaknya pengakuanku itu
sebuah kejujuran. Maka pengakuan ini berkelanjutan dan aku tidak merasa bersalah telah bersikap
semacam itu. Artinya, aku mulai merasa benci terhadap siapa saja yang menganggap Srintil adalah
wewenangnya, terutama suami-istri Sakarya. Terutama pula kepada pemuda-pemuda yang memasukkan
uang ke dada Srintil bila ronggeng itu menari tole-tole.
Perempuan-perempuan Dukuh Paruk begitu memanjakan Srintil sehingga dia seakan tidak lagi memerlukan
teman bermain. Tampaknya Srintil tidak merasa perlu memberi perhatian kepadaku atau kepada siapa
pun karena semua orang telah memperhatikannya. Ah. Perhatian Srintil itulah yang terasa hilang di
hatiku.
Sekali aku menemukan cara licik untuk memperoleh kembali perhatian ronggeng Dukuh Paruk itu. Sebuah
pepaya kucuri dari ladang orang. Pada saat yang baik, ketika Srintil seorang diri di pancuran, buah curian
itu kuberikan kepadanya. Tak kukira aku akan memperoleh ucapan terima kasih yang menyakitkan.
“Sesungguhnya saya menginginkan jeruk keprok,” kata Srintil dingin. “Tetapi buah pepaya pun tak
mengapa.”
Aku diam karena kecewa, dan sedikit malu. Namun aku mendapat akal untuk menolong keadaan. Pikiran
itu mendadak muncul setelah kulihat gigi Srintil telah berubah.
“Aku tahu engkau ingin jeruk keprok. Namun buah itu tak baik buat gigimu yang habis dipangur. Engkau
akan dibuatnya merasa sangat ngilu.”
“Wah, kau benar, Rasus. Seharusnya aku tidak melupakan hal itu. Untung kau mengingatkan aku,” jawab
Srintil. Matanya menatapku dengan sungguh-sungguh. Ketika kemudian Srintil tersenyum, sinar lembut
memancar dari gigi taringnya yang telah berlapis emas. Siapa pun yang berselera Dukuh Paruk akan
terpacu jantungnya bila menerima senyum dengan kilatan cahaya emas semacam itu.
Aku tak bisa berkata-kata. Bahkan dalam beradu pandang dengan Srintil, aku kalah. Kurang ajar. Dasar
ronggeng, pandangan matanya tak dapat kutantang. Anehnya cara Srintil memandang membuatku senang.
Namun seperti sudah kukatakan, Srintil sudah tidak membutuhkan lagi teman sebaya. Maka tanpa
canggung sedikit pun kemudian dia berkata,
“Aku mau mandi sekarang, Rasus. Sebaiknya engkau pulang. Kalau mau kau bisa menonton nanti malam.
Aku akan menari lagi.”
“Oh, jadi kau mau menari lagi nanti malam?” tanyaku demi menutupi kejengkelan.
“Ya, benar. Sekarang pulanglah!”
Pulanglah!
Kata itu berulang-ulang terdengar di telingaku. Karena diusir dengan halus aku pun pulang. Dalam hati aku
mengumpat; bajingan! Ah, sesaat kemudian aku sadar, sebenarnya aku tidak mengutuk Srintil, melainkan
diriku sendiri. Soalnya aku lahir menjadi orang yang layak diusir oleh ronggeng Dukuh Paruk itu.
Betapapun aku tidak suka menerima perlakuan Srintil, tetapi aku berlalu. Bukan pulang. Aku hanya
menyingkir tidak berapa jauh. Di atas sebuah tonggak kayu aku duduk. Dari tempat itu pandanganku ke
arah pancuran itu hanya terhalang perdu kenanga.
Jadi, Srintil yang sedang membuka pakaiannya dapat kulihat dengan nyata. Kemudian datang tiga orang
perempuan. Seorang di antaranya membawa arang batang padi untuk mengeramasi cucu Sakarya itu.
Perkara mandi, Srintil sungguh tidak usah repot. Ketiga perempuan itu berebut melayaninya. Srintil hanya
perlu tertawa atau memekik manja bila ada tangan yang mencubit bagian dadanya.
Perempuan-perempuan Dukuh Paruk itu! Kelak, sesudah aku tahu tentang perempuan luar kampung, aku
bisa mengatakan perempuan Dukuh Paruk memang hebat. Dalam urusan ini aku bersyukur karena Emak
telah lama lenyap dari pedukuhan itu. Kalau tidak, kukira Emak juga berbuat seperti semua perempuan
Dukuh Paruk. Mereka bersaing dengan sesamanya melalui cara yang aneh.
Ketika menonton Srintil menari aku pernah mendengar percakapan perempuan-perempuan yang berdiri di
tepi arena. Percakapan mereka akan membuat para suami merasa tidak menyesal telah hidup dalam
kungkungan rumah tangga.
“Nanti kalau Srintil sudah dibenarkan bertayub, suamiku menjadi laki-laki pertama yang menjamahnya,”
kata seorang perempuan.
“Jangan besar cakap,” kata yang lain. “Pilihan seorang ronggeng akan jatuh pertama pada lelaki yang
memberinya uang paling banyak. Dalam hal ini suamiku tak bakal dikalahkan.”
“Tetapi suamimu sudah pikun. Baru satu babak menari pinggangnya akan terkena encok.”
“Aku yang lebih tahu tenaga suamiku, tahu?”
“Tetapi jangan sombong dulu. Aku bisa menjual kambing agar suamiku mempunyai cukup uang. Aku tetap
yakin, suamiku akan menjadi lelaki pertama yang mencium Srintil.”
“Tunggulah sampai saatnya tiba. Suami siapa yang bakal menang. Suamiku atau suamimu.”
Demikian. Seorang ronggeng di lingkungan pentas tidak akan menjadi bahan percemburuan bagi
perempuan Dukuh Paruk. Malah sebaliknya. Makin lama seorang suami bertayub dengan ronggeng, makin
bangga pula istrinya. Perempuan semacam itu puas karena diketahui umum bahwa suaminya seorang lelaki
jantan, baik dalam arti uangnya maupun birahinya.
Sejak peristiwa pemberian pepaya itu, aku merasa Srintil makin menjauh. Sering kusumpahi diriku
mengapa aku jadi merasa tersiksa karenanya. Kuajari diriku; kecantikan Srintil bukan milikku, melainkan
miliknya. Cambang halus di pipinya yang makin enak dipandang bukan milikku, melainkan miliknya juga.
Kalau Srintil tersenyum sambil menari aku dibuatnya gemetar. Tetapi Srintil tersenyum bukan untukku,
melainkan untuk semua orang. Meskipun demikian pengajaran demikian tidak menolongku. Aku tetap
kecewa karena aku tidak lagi bisa bermain bersama Srintil.
Boleh jadi karena merasa begitu tersiksa maka kutemukan jalan untuk memperoleh kembali perhatian
Srintil. Acap kali kudengar orang berceloteh bila Srintil habis menarikan tari Baladewa. Kata mereka,
tubuh Srintil masih terlampau kecil bagi kerisnya yang terselip di punggung. Celoteh semacam ini
membuka jalan karena di rumahku ada sebuah keris kecil tinggalan ayah.
Lama aku berfikir tentang keris itu. Ada keraguan untuk menyerahkannya kepada Srintil. Aku tahu Nenek
pasti akan menentang kehendakku. Untung, roh-roh jahat mengajariku bagaimana menipu nenekku yang
pikun. Suatu hari kukatakan kepada Nenek,
"Nek, tadi malam aku bermimpi bertemu Ayah. Dalam mimpiku itu Ayah berpesan yang wanti-wanti harus
kulaksanakan,” kataku dengan hati-hati.
“Apa pesan ayahmu?” jawab Nenek yang mulai terpancing kebohonganku.
“Soal keris itu, Nek. Kata Ayah keris itu harus kuberikan kepada siapa saja yang menjadi ronggeng di
pedukuhan ini. Demikian wangsit Ayah, Nek.”
Wajah Nertek makin berkerut-kerut. Buruk bukan main. Aku berharap meski perempuan tua itu yang
melahirkan Emak, kejelekan wajahnya tidak diturunkan. Namun pikiran durhaka tidak lama berada di
benakku. Segera kusadari, Neneklah yang dengan sabar membesarkanku dengan susah payah. Bila Nenek
memburuh menumbuk padi, nasi yang dicatukan baginya tidak dimakan, agar di rumah aku tidak
kelaparan.
“Apakah karena kita kurang rajin merawatnya maka keris itu harus diserahkan kepada orang lain?” tanya
Nenek.
“Boleh jadi demikian, Nek,” jawabku mantap.
Aku percaya tipuanku mengena. Orang Dukuh Paruk, siapa pun dia, menganggap wangsit sebagai bagian
dari hukum yang pantang dilanggar. Maka dengan menyebut kata wangsit itu aku berhasil menipu Nenek
secara sempurna.
Keris bekas milik ayah tidak lebih dari dua jengkal tanganku. Sarungnya berlapis kuningan atau suasa.
Tangkainya terbuat dari kayu walikukun, berbentuk aneh. Bila diperhatikan benar, tangkai keris itu mirip
kemaluan laki-laki. Meskipun aku bernama Rasus yang lahir di Dukuh Paruk, aku tidak tahu-menahu
tentang keris. Aku tidak tahu kegunaannya. Maka tidak sedikit pun aku merasa sayang menyerahkannya
kepada Srintil. Yang kuperlukan sekarang adalah waktu yang baik untuk melakukan penyerahan itu.
Setiap hari bila matahari sudah naik, suami-istri Sakarya pergi ke ladang mereka. Pada saat seperti itu
Srintil seorang diri di rumah. Mencari kutu dengan perempuan-perempuan dewasa, atau tidur pulas bila
malam sebelumnya Srintil habis menari. Yang kupilih adalah saat demikian. Aku masuk dari pintu
belakang, mengendap-endap sampai ke bilik Srintil. Rumah Sakarya amat lengang. Srintil tergeletak di
atas balai-balai, pulas. Di dekat bantalnya tercecer banyak uang logam. Menjengkelkan bila mengingat
bagaimana uang logam itu dimasukkan ke dada Srintil oleh para perjaka. Aku tahu pasti, tangan para
perjaka itu bukan sekedar memasukkan uang. Dada Srintil yang masih sangat muda itu pasti diperlakukan
secara tidak senonoh.
Aku tetap berdiri memperhatikan Srintil yang tertidur nyenyak. Sudah kukatakan usiaku tiga belas atau
hampir empat belas tahun saat itu. Pengetahuanku tentang perempuan, baik sebagai pribadi maupun
sebagai lembaga, sungguh tak berarti. Namun dengan daya tangkap yang masih sederhana aku dapat
mengatakan ada perbedaan kesan antara perempuan terjaga dan perempuan tertidur.
Lebih damai. Lebih teduh. Sepasang mata yang tertutup, lenyapnya garis-garis ekspresi membuat wajah
Srintil makin enak dipandang. Bibir yang tampil dengan segala kejujurannya serta tarikan nafas yang
lambat dan teratur, membuat aku merasa berhadapan dengan citra seorang perempuan yang sebenarnya.
Kelak aku mengetahui banyak orang berusaha melukiskan citra sejati seorang perempuan. Mereka
menggunakan sarana seni lukis, seni patung atau seni sastra. Aku percaya para seniman itu keliru. Bila
mereka menghendaki lukisan seorang perempuan dengan segala keasliannya, seharusnya mereka
melukiskan perempuan yang sedang tidur nyenyak.
Jadi aku tidak ingin membangunkan Srintil. Memang aku gagal mencegah tanganku untuk tidak mengelus
cambang halus di tepian pipi ronggeng itu. Dan memegang dengan hati-hati pucuk hidungnya. Pada saat
itu aku teringat ulah kambing-kambingku sebelum mereka birahi. Teringat juga akan burung tekukur yang
saling gigit paruh sebelum mereka kawin. Aku ingin menirukan binatang-binatang itu. Namun batal,
khawatir Srintil akan terbangun atau aku sebenarnya tak rela dipersamakan dengan kambing atau burung.
Keris yang kubawa dari rumah masih kuselipkan di ketiakku, rapi tergulung dalam baju. Aku merasa lebih
baik menyerahkan benda itu kepada Srintil selagi dia tertidur. Ternyata kesan penyerahan semacam itu,
dalam. Sangat dalam. Aku sama sekali tidak merasa menyerahkan sebilah keris kepada seorang ronggeng
kecil. Tidak. Yang kuserahi keris itu adalah perempuan sejati, perempuan yang hanya hidup dalam alam
angan-angan yang terwujud dalam diri Srintil yang sedang tidur. Tentu saja perempuan yang kumaksud
adalah lembaga yang juga mewakili Emak, walau aku tidak pernah tahu di mana dia berada.
Tangan Srintil kutata supaya keris yang kuletakkan dekat bantal berada dalam pelukannya. Bajuku masih
membungkus benda itu. Nanti bila Srintil terbangun dia akan tahu siapa yang telah meletakkan keris itu di
dekatnya. Sebelum berlalu sekali lagi aku menatap Srintil. Aku ingin lebih yakin, dalam tidurnya ronggeng
itu malah lebih cantik.
Kambing-kambing tidak lagi menarik perhatianku. Mereka boleh berkeliaran sesuka hati. Mereka boleh
memasuki ladang orang, dan aku rela binatang gembalaanku itu dibantai oleh petani yang marah. Aku
ingin duduk sepuas hati di bawah pohon nangka. Tempat itu masih memberi keteduhan meski aku sudah
lama tidak bermain bersama Srintil di sana. Di tempat ini aku duduk seorang diri; merenung.
Di sebelah kiriku, agak jauh ke barat, tampak pekuburan Dukuh Paruk. Tonggak-tonggak nisan kelihatan
dari tempatku duduk. Hal yang mengecewakan, makam Emak tidak ada di sana. Aku heran mengapa orang
Dukuh Paruk tidak membuat kesepakatan, dan bersama-sama menipuku. Kalau mereka mengatakan
makam Emak ada di antara makam-makam di pekuburan Dukuh Paruk, pasti aku percaya. Itu lebih baik
daripada aku harus mengkhayal antara percaya dan tidak kisah tentang diri Emak. Apakah Emak masih
hidup dan lari bersama mantri yang merawatnya, atau sudah mati dan mayatnya dipotong-potong oleh
para dokter.
Ah, sebaiknya kukhayalkan Emak sudah mati. Ketika hidup dia secantik Srintil. Bila sedang tidur, tampillah
Emak sebagai citra perempuan sejati. Ayu, teduh, dan menjadi sumber segala kesalehan, seperti Srintil
yang saat itu masih telap memeluk keris kecil yang kuletakkan di sampingnya.
Atau, Srintil sudah terjaga. Dia heran ketika menemukan sebilah keris ada di dekatnya. Namun Srintil
harus mengenal baju yang menjadi bungkus keris itu. Srintil harus mengenal bajuku. Jadi ronggeng itu
harus tahu siapa yang telah meletakkan keris itu di sampingnya. Perhitunganku bukan khayalan kosong.
Bukti kebenarannya terbukti kemudian.
Sepasang tangan menutup mataku dari belakang. Sejenak aku tidak bisa menebak siapa yang datang.
Namun ketika tercium bau bunga kenanga, serta kuraba kulit tangan yang halus, aku segera memastikan
Srintil-lah orangnya.
“Kau melamun di sini, Rasus?” tanya Srintil sambil duduk di sampingku.
“Ah, tidak...”
“Katakan, ya!”
“Aku sedang...”
“Sudahlah. Jangan mencari alasan yang bukan-bukan. Aku tahu kau sedang melamun karena kehilangan
sehelai baju. Nah, ini dia. Pakailah!”
Srintil bukan hanya menyerahkan baju bekas pembungkus keris itu kepadaku. Dia langsung
memasangkannya pada tubuhku, serta mengancingnya sekalian. Punggung tangan itu putih. Ujung jarinya
merah karena Srintil mulai mengunyah sirih. Jantungku berdenyut lebih cepat.
“Rasus, coba katakan padaku tentang keris itu. Dan mengapa engkau meletakkannya di sampingku ketika
aku sedang tidur,” kata Srintil dekat sekali dengan telingaku.
Aku tidak bisa segera menjawab.
Aku juga tidak berani mengangkat muka menatap wajah Srintil.
“Katakan, Rasus. Katakan.”
“Keris itu untukmu, Srin,” jawabku lirih, tanpa melihat lawan bicaraku.
“Ya, Rasus. Tetapi mengapa hal itu kaulakukan? Engkau senang padaku?”
Lagi, aku tak bisa menjawab. Namun ketika beberapa kali didesak, aku menjawab,
“Keris itu kecil, jadi cocok untukmu. Keris yang selama ini kaupakai terlalu besar. Dengan keris
pemberianku itu, kau akan bertambah cantik bila sedang menari Baladewa.”
“Jadi engkau senang bila aku kelihatan bertambah cantik?”
Aku mengangguk.
“Tetapi apakah kau mengerti tentang keris yang kauberikan padaku itu?”
“Tidak. Aku tak tahu-menahu tentang keris,” jawabku.
“Oh, dengar. Kakek dan Kartareja telah tahu tentang keris itu.”
“Apa? Kau juga mengatakan aku yang telah membawanya ke dalam bilikmu?”
“Tidak begitu. Mereka tidak kuberi tahu siapa yang membawa keris itu kepadaku. Aku merahasiakan hal
itu kepada mereka.”
“Lalu?”
“Mereka mengatakan keris itu bernama Kyai Jaran Guyang, pusaka Dukuh Paruk yang telah lama lenyap.
Itu keris pekasih yang dulu selalu menjadi jimat para ronggeng. Mereka juga mengatakan hanya karena
keberuntunganku maka keris itu sampai ke tanganku. Rasus, dengan keris itu aku akan menjadi ronggeng
tenar. Itu kata Kakek dan juga kata Kartareja.”
“Dengan keris pemberianku itu kau akan menjadi ronggeng tenar?” kataku mengulang.
“Begitu kata mereka.”
“Jadi kau senang dengan pemberianku itu?”
“Oh tentu, Rasus.”
Kemudian Srintil merangkulku. Aku tahu dia sedang mengucapkan terima kasih. Ulahnya tidak kucegah.
Juga aku tetap diam ketika Srintil mulai menciumi pipiku. Tak kuduga sama sekali dalam melakukan
tindakan itu Srintil tak sedikit pun merasa canggung. Tampaknya dia sudah terbiasa. Dalam hati aku
bertanya kapankah Srintil belajar cium-mencium? Atau begitukah seharusnya seorang ronggeng? Meski dia
baru berusia sebelas tahun?/bp/
***
Sudah dua bulan Srintil menjadi ronggeng. Namun adat Dukuh Paruk mengatakan masih ada dua tahapan
yang harus dilaluinya sebelum Srintil berhak menyebut dirinya seorang ronggeng yang sebenarnya. Salah
satu di antaranya adalah upacara permandian yang secara turun-temurun dilakukan di depan cungkup
makam Ki Secamenggala.
Pagi itu Dukuh Paruk berhiaskan bunga bungur. Warna ungu yang semarak menghias hampir semua sudut
pedukuhan sempit itu.
Matahari mulai kembali pada lintasannya di garis katulistiwa. Angin tenggara tidak lagi bertiup. Langit
yang selalu membiru di musim kemarau mulai bernodakan gumpalan-gumpalan awan. Kemarau sedang
menjelang masa akhirnya.
Pagi yang lengang. Sinar matahari dalam berkas-berkas kecil menembus kerindangan pekuburan Dukuh
Paruk. Tetes-tetes embun di pucuk daun menangkap sinar itu dan membiaskannya menjadi pelangi lembut
yang berpendar-pendar. Seekor tupai meluncur turun dari atas pohon. Binatang itu bergerak dalam
lintasan yang berupa ulir hingga mencapai tanah. Dengan mata waspada tupai itu melompat-lompat di
atas tanah, lalu naik lagi dengan seekor si kaki seribu tergigit di mulutnya.
Dalam kerimbunan tumbuhan benalu, sepasang burung madu berkejaran. Jantan yang berwarna merah
saga mengejar betinanya. Setelah tertangkap keduanya bergulat sejenak lalu menjatuhkan diri bersama
sambil bersenggama. Pasangan itu baru saling melepaskan diri satu detik sebelum tubuh mereka
menyentuh tanah. Perintah alam selesai mereka laksanakan. Si jantan terbang dengan penuh kepuasan,
kembali terbang dan hinggap di kerimbunan benalu. Selesailah hidupnya karena seekor ular hijau langsung
menangkap dan memangsanya di sana.
Pohon beringin besar yang menjadi mahkota pekuburan Dukuh Paruk menjadi istana para burung. Pada
sebuah dahannya yang tersembunyi hinggap seekor burung celepuk. Ia sedang terkantuk setelah
menghabiskan malamnya dengan berburu tikus, ikan atau katak. Hanya burung kucica yang kecil berani
mengusik raja burung malam itu. Burung-burung seling yang hitam pekat dan burung katik yang hijau,
hinggap dalam kelompok-kelompok. Mereka membisu sambil berjemur menanti hangatnya udara pagi
sebelum terbang mencari makanan di tempat lain.
Hari itu tak ada kegiatan kerja di Dukuh Paruk. Upacara memandikan seorang ronggeng adalah peristiwa
yang penting bagi orang di pedukuhan itu, lagipula amat jarang terjadi. Maka tak seorang pun yang ingin
tertinggal. Maka pagi-pagi warga Dukuh Paruk, tiada kecualinya, sudah berkumpul di halaman rumah
Kartareja. Mereka akan mengiring Srintil dari rumah itu sampai ke makam Ki Secamenggala. Di sana Srintil
akan dipermandikan.
Srintil didandan dengan pakaian kebesaran seorang ronggeng. Aku melihat keris kecil yang kuberikan
kepada Srintil terselip di pinggang ronggeng itu. Serasi benar ukurannya dengan badan Srintil. Itu bukan
hanya penilaianku. Kudengar beberapa orang berkomentar, “Srintil mengenakan keris baru yang lebih
kecil dan bagus. Alangkah pantasnya. Alangkah kenesnya.”
Aku yakin pujian itu terdengar oleh Srintil. Kutunggu tanggapannya. Srintil tidak menoleh kepada orang
yang mengucapkan pujian itu. Dia menolehku lalu tersenyum. Sayang, aku tak dapat membalas senyum
Srintil karena jantungku berdenyut terlampau cepat. Boleh jadi orang-orang bertanya-tanya. Tetapi aku
percaya kecuali Srintil dan nenekku yang telah pikun, orang lain tak tahu tentang keris yang dipakai Srintil
pagi itu. Atau bila ada orang tahu bahwa akulah yang memberikan keris kecil kepada Srintil, aku tidak
peduli. Dengan memberikan pusaka itu kepada Srintil, aku telah memperoleh imbalan yang cukup; Srintil
kembali memperhatikan diriku. Ini berarti ada seorang perempuan dalam hidupku, suatu hal yang telah
bertahun-tahun kudambakan.
Tidak bisa kupastikan yang kurindukan adalah seorang perempuan sebagai kecintaan atau seorang
perempuan sebagai citra seorang emak. Emakku. Atau kedua-duanya. Tetapi jelas, penampilan Srintil
membantuku mewujudkan angan-anganku tentang pribadi perempuan yang telah melahirkanku. Bahkan
juga bentuk lahirnya. Jadi sudah kuanggap pasti, Emak mempunyai senyum yang bagus seperti Srintil.
Suaranya lembut, sejuk, suara seorang perempuan sejati. Tetapi aku tidak bisa memastikan apakah Emak
mempunyai cambang halus di kedua pipinya seperti halnya Srintil. Atau, apakah juga ada lesung pipit pada
pipi kiri Emak. Srintil bertambah manis dengan lekuk kecil di pipi kirinya, bila ia sedang tertawa. Hanya
secara umum Emak mirip Srintil. Sudah kukatakan aku belum pernah atau takkan pernah melihat Emak.
Persamaan itu kubangun sendiri sedikit demi sedikit. Lama-lama hal yang kureka sendiri itu kujadikan
kepastian dalam hidupku.
Di halaman rumah Kartareja ronggeng bermain satu babak. Tidak seperti biasa, pentas kali ini tanpa
nyanyi atau tarian erotik. Mulut Sakum bungkam. Si buta itu tidak mengeluarkan seruan-seruan cabul.
Semua orang tahu permainan kali ini bukan pentas ronggeng biasa. Tetapi merupakan bagian dari upacara
sakral yang dipersembahkan kepada leluhur Dukuh Paruk.
Selesai bermain satu babak, rombongan ronggeng bergerak menuju pekuburan Dukuh Paruk. Kartareja
berjalan paling depan membawa pedupaan. Srintil di belakangnya. Menyusul para penabuh. Sakum
dituntun oleh seorang penabuh lainnya. Di belakang mereka menyusul segenap warga Dukuh Paruk, dari
anak-anak sampai yang tua-tua. Bayi-bayi digendong, anak kecil dituntun. Mereka membuat barisan
panjang, berarak menuju makam Ki Secamenggala.
Sampai di tujuan, Kartareja meletakkan pedupaan di ambang pintu cungkup leluhur Dukuh Paruk. Dua
orang laki-laki membawa tempayan berisi air kembang. Dengan air itu nanti Srintil akan dimandikan. Nyai
Kartareja menuntun Srintil. Dilindungi oleh beberapa perempuan tua lainnya, pakaian Srintil dibuka,
hanya tinggal selembar kain yang menutupi tubuh perawan itu.
Mantera-mantera dibacakan oleh Nyai Kartareja, ditiupkan ke ubun-ubun Srintil. Kemudian tubuh perawan
itu mulai diguyur air kembang, gayung demi gayung. Sementara itu orang-orang dukuh Paruk lainnya hanya
menonton. Srintil menjadi pusat perhatian. Rombongan penabuh mempersiapkan diri. Mereka menata
perkakas masing-masing, duduk bersila di atas tanah.
Srintil selesai dimandikan. Nyai Kartareja mengeringkan rambut ronggeng itu dengan sehelai kain. Tiga
orang perempuan membantu Nyai Kartareja mendandani Srintil kembali. Mereka menyisir, memberi bedak
dan membantu Srintil mengenakan kain serta mengikatkan sampur di pinggang. Semuanya sudah beres.
Rambut Srintil sudah disanggul. Kemudian ronggeng itu dituntun ke depan pintu cungkup. Di sana Srintil
menyembah dengan takjim, lalu bangkit dan berjalan ke hadapan lingkaran para penabuh.
Tiba giliran bagi Kartareja. Setelah komat-kamit sebentar, laki-laki itu memberi aba-aba kepada pemukul
gendang. Kelengangan pekuburan Dukuh Paruk pecah. Suara gendang dan calung menggema bersama
dalam irama khas.
Berpuluh-puluh burung serentak terbang meninggalkan pepohonan di pekuburan itu. Tidak seperti semua
orang Dukuh Paruk, burung-burung itu tak menyukai irama calung. Tidak seperti aku yang sedang tak
berkedip melihat pengejawantahan Emak pada diri Srintil, burung-burung itu tak menyukai ronggeng.
Pada saat seperti itu orang-orang Dukuh Paruk percaya semua roh di pekuburan itu bangkit melihat
pertunjukan. Mereka juga yakin arwah Ki Secamenggala berdiri di ambang pintu cungkup dan melihat
Srintil berjoget. Oleh karena itu tak seorang pun berdiri di depan cungkup itu karena tak ingin
menghalangi pandangan mata roh Ki Secamenggala.
Aku berdiri di bagian depan. Seandainya ada orang Dukuh Paruk mampu berbicara masalah apresiasi, maka
alangkah baik bila diadakan pengukuran. Apresiasi siapakah yang paling dalam atas pertunjukan ronggeng
Srintil di pekuburan itu. Secara angkuh aku dapat memastikan apresiasikulah yang paling dalam. Aku
bukan hanya sekedar melihat Srintil meronggeng, melenggang lenggok dan bertembang. Aku tidak hanya
mendengar keserasian bunyi calung, gendang dan gong tiup yang menghasilkan irama indah. Juga aku
bukan hanya terkesan oleh lentuk leher Srintil, goyang pundaknya atau lentik jemarinya. Lebih dari itu.
Karena aku melihat Srintil lebih daripada seorang perawan kecil yang menjadi ronggeng. Pada saat seperti
itu kerinduanku akan kehadiran Emak terobati. Pada saat seperti itu hilang angan-angan apakah Emak
melarikan diri bersama mantri itu. Atau mati dan mayatnya dicincang-cincang. Yang memenuhi jiwaku
adalah kenyataan Srintil sedang menari, tersenyum kepadaku. Hal itu sudah cukup melenyapkan, meski
hanya sesaat, penderitaanku yang tak pernah melihat Emak.
Konon semasa hidupnya Ki Secamenggala sangat menyukai lagu Sari Gunung. Maka dalam rangkaian
upacara mempermandikan Srintil itu lagu Sari Gunung-lah yang pertama kali dinyanyikan oleh Srintil,
secara berulang-ulang. Seperti pada awal upacara di rumah Kartareja, pentas di pekuburan itu
meniadakan lagu-lagu cabul. Sakum diam. Tetapi menjelang babak ketiga terjadi kegaduhan. Kejadian itu
takkan pernah kulupakan buat selama-lamanya.
Dalam berdirinya, tiba-tiba Kartareja menggigil tegang. Mata dukun ronggeng itu terbeliak menatap
langit. Wajahnya pucat dan basah oleh keringat. Sesaat kemudian tubuh Kartareja mengejang. Dia
melangkah terhuyung-huyung, dan matanya menjadi setengah terpejam.
Semua orang terkesima. Calung berhenti. Srintil menghentikan tariannya karena calung dan gendang pun
bungkam. Kartareja terus melangkah. Sampai di tengah arena laki-laki tua bangka itu mulai menari sambil
bertembang irama gandrung.
Hanya Sakarya yang cepat tanggap. Kakek Srintil itu percaya penuh roh Ki Secamenggala telah memasuki
tubuh Kartareja dan ingin bertayub. Maka Sakarya cepat berseru,
“Pukul kembali gendang dan calung. Ki Secamenggala ingin bertayub. Srintil, ayo menari lagi. Layani Ki
Secamenggala.”
Irama calung kembali menggema. Tetapi suasana jadi mencekam. Semua orang percaya akan kata Sakarya
bahwa Kartareja sedang dirasuki arwah leluhur. Maka mereka mundur dalam suasana tegang.
Calung ditabuh dalam irama tayub. Kesahduan upacara sakral itu hilang. Lagu-lagu pemancing birahi
disuarakan. Sakum tidak pernah lupa akan tugasnya. Memoncongkan mulut lalu menghembuskan seruan
cabul pada saat Srintil menggoyang pinggul. Cesss... cessss.
Kartareja menari makin menjadi-jadi. Berjoget dan melangkah makin mendekati Srintil. Tangan kirinya
melingkari pinggang Srintil. Menyusul tangannya yang kanan. Tiba-tiba dengan kekuatan yang
mengherankan Kartareja mengangkat tubuh Srintil tinggi-tinggi. Menurunkannya kembali dan menciumi
ronggeng itu penuh birahi.
Penonton bersorak. Mereka bertepuk tangan dengan gembira. Tetapi aku diam terpaku. Jantungku
berdebar. Aku melihat tontonan itu tanpa perasaan apa pun kecuali kebencian dan kemarahan. Tak terasa
tanganku mengepal. Hanya itu, karena aku tak bertindak apa-apa. Tak berani berbuat apa-apa. Dan
Kartareja terus menciumi Srintil tanpa peduli puluhan pasang mata melihatnya.
Tak kuduga sorak-sorai orang Dukuh Paruk berhenti seketika. Mereka, juga aku sendiri, kemudian melihat
Kartareja mendekap Srintil begitu kuat sehingga perawan kecil itu tersengal-sengal. Bahkan akhirnya
Srintil merintih kesakitan. Seakan dia merasa tulang-tulang rusuknya patah oleh himpitan lengan Kartareja
yang kuat.
Terjadi ketegangan. Tetapi belum ada orang yang bertindak. Kecuali Sakarya yang tiba-tiba melompat ke
depan sambil berseru,
“Hentikan calung. Hentikan calung!”
Sakarya mendekati Kartareja yang tetap mendekap Srintil kuat-kuat. Sakarya melihat mata cucunya
terbeliak karena sukar bernapas. Terbata-bata kakek Srintil itu meratap.
“Lepaskan cucumu, Eyang Secamenggala. Aku memohon lepaskan Srintil. Kasihani dia, Eyang. Srintil
adalah keturunanmu sendiri,” ratap Sakarya berulang-ulang.
Sehabis berkata demikian Sakarya berbalik mengambil pedupaan. Dikibas-kibaskannya asap kemenyan itu
ke arah Kartareja yang dipercayainya sedang kemasukan arwah Ki Secamenggala. Nyai Kartareja
mengambil segayung air kembang dan disiramkannya ke kepala suaminya. “Eling, Kang. Eling,” kata Nyai
Kartareja.
“Jangan panggil dengan sebutan Kang! Panggil dia dengan kata Eyang. Kau tak tahu suamimu sedang
kesurupan?” bentak Sakarya kepada Nyai Kartareja.
Entah oleh siraman air kembang atau oleh kepulan asap pedupaan, perlahan-lahan Kartareja
mengendorkan dekapannya atas diri Srintil. Kedua tangannya terkulai. Dukun ronggeng itu mulai berdiri
goyah, dan akhirnya roboh ke tanah. Tangan dan kaki Kartareja kejang. Matanya kelihatan mengerikan
karena hanya kelihatan bagiannya yang putih.
Aku maju ke depan. Aku ingin menjadi orang pertama yang menolong Srintil dari ketakutannya. Kurangkul
pada pundaknya.
“Kau tidak apa-apa, Srin?” tanyaku.
Srintil hanya menggeleng. Dingin terasa tubuhnya. Tangannya gemetar.
Tinggal Kartareja yang menjadi perhatian orang. Dia masih terkapar. Tetapi perlahan-lahan dia
menggeliat, kemudian melenguh. Matanya terbuka. Masih tertidur di tanah, Kartareja menoleh kiri-kanan,
lalu duduk. Dukun ronggeng itu masih kelihatan bingung.
“Syukur-syukur,” ujar Sakarya. “Sampean sudah sadar, Kang?”
“Lho, ada apa? Kenapa badanku basah begini? Mengapa calung berhenti?” tanya Kartareja bimbang.
Dipandangnya orang-orang yang mengelilinginya, kemudian Kartareja bangkit berdiri.
“Ada apa ini?” ulang Kartareja.
“He-he. Eyang Secamenggala baru saja hadir. Beliau bertayub bersama Srintil,” ujar Sakarya
menerangkan.
“Eyang Secamenggala?”
“Benar, Kang. Rohnya memasuki tubuh sampean dan tentu saja sampean tidak sadar. Hal ini berarti
persembahan kita pagi ini diterima olehnya. Srintil direstuinya menjadi ronggeng.”
Percakapan selanjutnya antara Sakarya dan Kartareja tidak lagi kudengar. Aku juga tidak lagi mendengar
celoteh serta gumam orang-orang Dukuh Paruk tentang peristiwa yang baru terjadi. Apa pun tak
kuinginkan kecuali segera membawa Srintil menyingkir. Kugandeng tangannya menuruni bukit kecil
pekuburan. Srintil tidak kuantar pulang ke rumahnya, melainkan kubawa ke rumahku. Suatu keberanian
yang tak pernah terbayangkan dapat kulakukan. Anehnya, Srintil menurut. Bukan main besar rasa hatiku.
“Rasus, bila kau tahu betapa ngeri hatiku tadi,” ujar Srintil yang kududukkan di atas lincak.
“Kartareja memang bajingan. Bajul buntung,” jawabku mengumpat dukun ronggeng itu.
“Eh, Rasus. Jangan berkata begitu. Kaudengar tadi kata kakekku, bukan? Kartareja hanya kesurupan
arwah Ki Secamenggala.”
“Tidak peduli. Yang penting kakek tua bangka itu berbuat keterlaluan. Kau didekapnya. Bila tak tertolong
kau pasti mati tercekik.”
“Apakah engkau akan bersedih bila aku mati?” tanya Srintil. Pertanyaan itu membuat mulutku
terbungkam.
Ah. Srintil tak bersalah bila dia tak mengerti apa
arti dirinya bagiku. Dia takkan mengerti bahwa bagiku, dirinya adalah sebuah cermin di mana aku dapat
mencoba mencari bayangan Emak. Srintil takkan mengerti hal itu. Dan sekali lagi kukatakan Srintil tak
bersalah. Maka untuk sekedar menjawab pertanyaan, kukatakan,
“Srin, kau dan aku sama-sama menjadi anak Dukuh Paruk yang yatim piatu sejak kanak-kanak. Kita
senasib. Maka aku tak senang bila melihat kau celaka. Bila kau mati aku merasa kehilangan seorang
teman. Kau mengerti?”
Bagian Ketiga
Aku mengira upacara permandian di pekuburan itu adalah syarat terakhir sebelum seorang gadis sah
menjadi ronggeng. Ternyata aku salah. Orang-orang Dukuh Paruk mengatakan bahwa Srintil masih harus
menyelesaikan satu syarat lagi. Sebelum hal itu terlaksana, Srintil tak mungkin naik pentas dengan
memungut bayaran.
Dari orang-orang Dukuh Paruk pula aku tahu syarat terakhir yang harus dipenuhi oleh Srintil bernama
bukak-klambu. Berdiri bulu kudukku setelah mengetahui macam apa persyaratan itu. Bukak-klambu adalah
semacam sayembara, terbuka bagi laki-laki mana pun. Yang disayembarakan adalah keperawanan calon
ronggeng. Laki-laki yang dapat menyerahkan sejumlah uang yang ditentukan oleh dukun ronggeng, berhak
menikmati virginitas itu.
Keperawanan Srintil disayembarakan. Bajingan! Bajul buntung! pikirku.
Aku bukan hanya cemburu. Bukan pula sakit hati karena aku tidak mungkin memenangkan sayembara
akibat kemelaratanku serta usiaku yang baru empat belas tahun. Lebih dari itu. Memang Srintil telah
dilahirkan untuk menjadi ronggeng, perempuan milik semua laki-laki. Tetapi mendengar keperawanannya
disayembarakan, hatiku panas bukan main. Celaka lagi, bukak-klambu yang harus dialami oleh Srintil
sudah merupakan hukum pasti di Dukuh Paruk. Siapa pun tak bisa mengubahnya, apa pula aku yang
bernama Rasus. Jadi dengan perasaan perih aku hanya bisa menunggu apa yang akan terjadi.
Jauh-jauh hari Kartareja sudah menentukan malam hari Srintil harus kehilangan keperawanannya. Untuk
itu Kartareja sendiri harus mengeluarkan biaya. Tiga ekor kambing telah dijualnya ke pasar. Dengan uang
hasil penjualan itu dibelinya sebuah tempat tidur baru, lengkap dengan kasur bantal dan kelambu. Dalam
tempat tidur ini kelak Srintil akan diwisuda oleh laki-laki yang memenangkan sayembara.
Sementara waktu suara calung lenyap dari Dukuh Paruk. Kartareja sedang giat membuat persiapan
pelaksanaan malam bukak-klambu itu. Dukun ronggeng itu rajin keluar Dukuh Paruk untuk menyebarkan
berita. Hanya dalam beberapa hari telah tersiar kabar tentang malam bukak-klambu bagi ronggeng Srintil.
Orang-orang segera tahu pula, Kartareja menentukan syarat sekeping uang ringgit emas bagi laki-laki yang
ingin menjadi pemenang.
“Saatnya telah saya tentukan pada Sabtu malam yang akan datang,” kata Kartareja pada suatu pagi di
hadapan banyak laki-laki di pasar.
“Dan sampean meminta sekeping ringgit emas?”
“Ya. Kukira itu harga yang patut,” jawab Kartareja.
“Ah,” lenguh laki-laki yang bertanya tadi.
“E... Kenapa? Terlalu mahal? Ingat baik-baik. Pernahkah ada ronggeng secantik Srintil?”
“Itu benar. Srintil memang ayu dan kenes. Tetapi siapa yang memiliki sebuah ringgit emas di Dukuh
Paruk,”
“Oh, saya tak pernah bermimpi seorang laki-laki Dukuh Paruk akan memenangkan sayembara. Jangankan
ringgit emas, sebuah rupiah perak pun tak dimiliki oleh laki-laki Dukuh Paruk. Aku tidak berharap mereka
mengikuti sayembara.”
Berita tentang malam birahi itu cepat menyebar ke mana-mana, jauh ke kampung-kampung di luar Dukuh
Paruk. Banyak perjaka atau suami yang tergugah semangatnya. Tetapi sebagian besar segera
memadamkan keinginannya setelah mengerti apa syarat untuk tidur bersama Srintil pada
malambukak-klambu. Sebuah ringgit emas senilai dengan harga seekor kerbau yang paling besar. Hanya
beberapa pemuda yang merasa dirinya sanggup mengalahkan tantangan itu.
Tiga hari sebelum Sabtu malam. Sebuah lampu minyak yang terang telah dinyalakan di rumah Kartareja.
Pintu sebuah kamar sengaja dibiarkannya terbuka. Dengan demikian sebuah tempat tidur berkelambu
yang masih baru bisa dilihat orang dari luar. Tutup kasurnya putih bersih demikian pula bantalnya. Bagi
semua orang Dukuh Paruk yang biasa tidur di atas pelupuh bambu, pemandangan seperti itu sungguh luar
biasa. Sore itu banyak perempuan dan anak-anak Dukuh Paruk datang ke rumah Kartareja hanya dengan
tujuan melihat tempat tidur itu.
Aku sendiri ada di sana. Tidak masuk ke dalam rumah, karena dari tempatku berdiri di sudut halaman
sudah dapat kulihat tempat tidur berkelambu itu. Bila orang-orang memandangnya dengan kagum, aku
melihat tempat tidur itu dengan masygul. Muak bercampur marah.
Bagiku, tempat tidur yang akan menjadi tempat bagi Srintil melaksanakan malam bukak-klambu , tidak
lebih dari sebuah tempat pembantaian. Atau lebih menjijikkan lagi. Di sana dua hari lagi akan berlangsung
penghancuran dan penjagalan. Aku sama sekali tidak berbicara atas kepentingan birahi atau sebangsanya.
Di sana, di dalam kurung kelambu yang tampak dari tempatku berdiri, akan terjadi pemusnahan mustika
yang selama ini amat kuhargai. Sesudah berlangsung malam bukak-klambu, Srintil tidak suci lagi. Soal dia
kehilangan keperawanannya, tidak begitu berat kurasakan. Tetapi Srintil sebagai cermin tempat aku
mencari bayangan Emak menjadi baur dan bahkan hancur berkeping.
Membayangkan bagaimana Srintil tidur bersama seorang laki-laki, sama menjijikkannya dengan
membayangkan Emak melarikan diri bersama mantri itu. Aku muak. Aku tidak rela hal semacam itu
terjadi. Tetapi lagi-lagi terbukti seorang anak dari Dukuh Paruk bernama Rasus terlalu lemah untuk
menolak hal buruk yang amat dibencinya. Jadi aku hanya bisa mengumpat dalam hati dan meludah. Asu
buntung!
Masih dari tempatku berdiri, aku melihat Srintil keluar. Merah bibirnya karena Srintil makan sirih.
Rambutnya yang kelimis terjurai menutupi sebagian pundaknya yang mulai berisi. Perempuan-perempuan
serta anak-anak segera mengelilinginya di balai-balai. Gumam pujian mulai didengungkan oleh para
perempuan itu. Kulihat Srintil tertawa riang. Apa yang salah bila gadis sebesar Srintil bersenang hati
mendengar segala macam pujian.
Melihat bagaimana cara para perempuan Dukuh Paruk memuji Srintil maka aku yakin setiap diri mereka
berharap kiranya anak perempuan mereka kelak seperti Srintil. Menjadi ronggeng. Atau para perempuan
itu menyesal mengapa kaki mereka pengkor, atau pipi mereka tambun, atau bibir mereka seburuk bibir
kerbau sehingga tak bakal layak menjadi ronggeng. Tak tahulah!
Boleh jadi aku akan tetap melamun berang bila gerimis tidak turun. Tak kuduga gerimis kali ini
menguntungkan. Para perempuan dan anak-anak yang merubung Srintil segera bangkit bergegas pulang ke
rumah masing-masing. Aku sendiri hanya maju beberapa langkah dan berteduh di emper rumah Kartareja.
Srintil baru melihatku setelah aku berada di bawah naungan emper itu.
“He? Engkau di situ, Rasus?” tanya Srintil. Nadanya bersukacita.
“Ya.”
“Sudah lama?”
“Sejak sebelum gerimis.”
"Mari masuk. Temani aku. Kartareja dan istrinya sedang pergi ke rumah kakekku, Sakarya. Aku seorang diri
sekarang.”
Srintil menarik tanganku.
Aku menurut. Kami duduk berdua di atas lincak. Srintil terus bergerak seperti kanak-kanak. Ah, dia
memang masih kanak-kanak. Usianya sebelas atau dua belas tahun. Meski begitu Srintil menangkap
suasana yang lesu pada diriku.
“He, kau seperti malas bercakap-cakap. Kau segan menemaniku di sini?”
“Tidak. Sama sekali tidak.”
“Tapi kau hanya berkata bila kutanya. Kenapa?”
“Tutup pintu kamar itu dulu.”
“Lho, kenapa?”
“Aku tak ingin melihat tempat tidur itu meski Kartareja memamerkannya buat semua orang,” kataku agak
ketus.
Srintil termangu sejenak. Tak usah lama berfikir rupanya Srintil mengetahui juga mengapa aku berkata
demikian. Naluri seorang perempuan. Lama kunanti tanggapan Srintil. Tetapi mulutnya yang mungil dan
merah masih terkatup. Dia hanya bangkit memenuhi permintaanku menutup pintu kamar itu. Derit pintu
bambu dan lenyap dari pandanganku tempat tidur yang akan menjadi ajang Srintil melepaskan
keperawanannya.
“Ya, Rasus aku tahu. Kau tak usah berkata banyak aku sudah tahu mengapa kau membenci tempat tidur
itu.”
“Hm?”
“Dan engkau tahu bahwa aku senang menjadi ronggeng, bukan?”
“He-eh.”
“Lalu?”
“Yah, aku hanya ingin bertanya padamu; bagaimana perasaanmu menghadapi saat Sabtu malam itu?”
Aku tidak segera mendapat jawaban. Kulihat seorang gadis kecil sedang berfikir tentang sesuatu yang baru
baginya. Bukan hanya baru, melainkan juga sesuatu yang menjadi salah satu tonggak sejarah biologisnya.
Mungkin selama ini Srintil hanya terpukau oleh janji Kartareja bahwa sebuah ringgit emas yang diberikan
oleh laki-laki pemenang akan menjadi miliknya. Kemampuan pikirannya hanya sampai di situ.
“Bagaimana?” tanyaku mengulang.
“Entahlah, Rasus. Aku tak mengerti,” jawab Srintil sambil menundukkan kepala.
“Tentu kau senang karena kau akan memiliki sebuah ringgit emas. Kikira begitu.”
“Aku tak mengerti, Rasus. Yang jelas aku seorang ronggeng. Siapa pun yang akan menjadi ronggeng harus
mengalami malam bukak-klambu. Kau sudah tahu itu, bukan?”
“He-eh.”
“Atau begini, Rasus. Bukankah kau telah disunat?”
“Sudah tiga tahun. Kenapa?”
Srintil diam. Dikibaskannya rambutnya ke belakang. Wajahnya menunduk. Kemudian tanpa melihatku
ronggeng itu berkata.
“Misalnya, Rasus. Misalnya. Engkau mempunyai sekeping ringgit emas.”
“Selamanya aku takkan pernah mempunyai sebuah ringgit emas,” jawabku cepat. “Aku hanya mempunyai
sebuah keris kecil warisan Ayah, dan satu-satunya milikku yang berharga itu telah kuserahkan padamu.
Kini engkau pasti tahu aku tak mempunyai apa-apa lagi. Kau harus tahu hal itu, Srintil.”
Mata Srintil terarah lurus kepadaku. Tak lebih dari sepasang mata anak-anak. Aneh juga. Dari pemilik
sepasang mata itu aku mengharap terlalu banyak. Tetapi aku tak merasa bersalah. Tidak. Karena pada
saat itu misalnya, ketika Srintil menatapku tajam, aku teringat Emak. Emakku yang mati dan mayatnya
dicincang. Atau Emakku yang lari bersama mantri keparat itu, dan sekarang barangkali berada di Deli,
negeri khayali yang berada di batas langit.
Kutoleh Srintil. Dia masih menatapku dengan cara seorang bodoh. Padahal yang kuharapkan waktu itu
adalah pernyataan Srintil bahwa ia tidak akan menempuh malam bukak-klambu karena dia telah
memutuskan tidak akan menjadi ronggeng. Ah, keinginan gila yang mustahil terlaksana. Lucunya, aku
menyadari hal itu sebaik-baiknya.
Suasana yang bisu membuatku tak betah. Srintil pun kulihat gelisah di tempatnya. Aku tak tahu apalagi
yang patut kuperbuat, atau layak kukatakan kepada Srintil. jadi aku bangkit tanpa berucap barang
sepatah kata dan berjalan ke arah pintu.
“Engkau mau ke mana, Rasus?” kata Srintil.
“Pulang.”
“Jadi engkau mau pulang?”
“Ya.”
“Jadi engkau mau pulang, Rasus? Di luar masih gerimis,” ujar Srintil di belakangku.
Aku terus berjalan. Lepas di halaman, kain sarung kututupkan ke atas kepala. Ketika membalikkan badan
kulihat Srintil masih berdiri di bawah atap emper. Sebenarnya aku tidak meninggalkannya dengan sepenuh
hati. Tetapi aku terus berjalan. Sampai di rumah aku langsung merebahkan diri ke atas lincak.
Hujan turun makin lebat. Alam menghiburku dengan tiris lembut menyapu tubuhku yang tergulung kain
sarung. Aku tidur melingkar seperti trenggiling. Dengan demikian panas tubuhku agak terkendali. Tidur di
atas pelupuh, kala hari hujan. Kenangan yang tak terlupakan bagi anak-anak Dukuh Paruk. Aku terlena,
larut dalam perjalanan alam pedukuhan kecil itu.
Jumat malam.
Kemarau sungguh-sungguh telah berakhir. Siang hari hujan turun amat lebat. Lapisan lumpur yang telah
berbulan-bulan mengeras seperti batu, kini terendam air. Sawah luas yang mengelilingi Dukuh Paruk
tergenang. Dukuh Paruk menjadi pulau. Hanya jaringan pematang tampak membentuk kotak-kotak persegi
yang sangat banyak. Tetapi tanah pematang rapuh dan longsor bila terinjak kaki.
Burung bluwak, kuntul dan trintil muncul kembali. Selama kemarau mereka mengungsi di tanah-tanah
paya di muara Citanduy. Sebentar rumpun-rumpun bambu di Dukuh Paruk akan ramai oleh berbagai
burung air. Mereka berkembang-biak di sana seperti dilakukan oleh nenek moyang mereka entah sejak
berapa abad yang lalu.
Dukuh Paruk akan melewati bulan-bulan yang lembab. Lumut akan tumbuh pada dinding bambu atau tiang
kayu yang basah. Jamur akan tumbuh pada kayu mati atau dahan yang lapuk. Cacing menjalar di
emper-emper. Orong-orong membuat galur-galur di bawah tanah, menerobos bawah dinding dan berakhir
di bawah balai-balai. Kutu air dan kudis akan kembali merajalela pada kaki dan tangan anak-anak Dukuh
Paruk. Dan orang-orang di sana akan menerimanya sebagai kebiasaan alami.
Selagi Dukuh Paruk berhiaskan genangan air di mana-mana, menjelang senja kelihatan seorang pemuda
sedang bergegas ke sana. Dower, pemuda itu, tidak mempedulikan pematang panjang yang becek. Dia
terus berjalan. Cekat-ceket bunyi telapak kakinya ketika diangkat dari lumpur. Kain sarung tidak
dipakainya melainkan disilangkannya di pundak. Bila dipakai kain sarung Dower pasti akan belepotan.
Hanya satu hal yang memenuhi benak Dower. Segera sampai ke Dukuh Paruk dan mengetuk pintu rumah
Kartareja. Makin dekat ke pedukuhan itu Dower makin terbayang akan sebuah tempat tidur berkelambu.
Putih bersih dengan kasur dan bantal yang baru. Dan yang paling penting; seorang perawan kencur yang
terbaring di dalamnya.
Memenangkan sayembara bukak-klambu bukan hanya menyangkut renjana birahi. Bukan pula hanya
menyangkut sukacita mewisuda seorang perawan, melainkan juga kebanggaan. Dower sungguh-sungguh
berharap kelak orang akan bergunjing, “Tenyata Dower bukan pemuda sembarang. Dialah orangnya yang
memenangkan sayembara bukak-klambu bagi ronggeng Srintil.”
Menginjak tanah Dukuh Paruk, hati Dower makin kacau. Hari sudah benar-benar gelap. Lampu-lampu telah
dinyalakan. Langit pekat meski hujan belum lagi turun. Selagi tanah basah, jengkerik dan gangsir malas
berbunyi. Orong-orong menggantikannya. Serangga tanah itu menggetarkan sayapnya yang menimbulkan
suara buruk dan berat. Katak dahan berteriak-teriak. Tidak seperti kodok atau katak hijau, katak dahan
bersuara dengan selang waktu yang jarang.
Ada sebuah gardu ronda di perempatan jalan kecil di Dukuh Paruk. Dower mendengar gumam beberapa
pemuda dari dalam gardu itu. Seandainya Dower tahu. Pemuda-pemuda dalam gardu itu sama seperti
dirinya, datang dari luar Dukuh Paruk dalam kaitannya dengan sayembara bukak-klambu. Namun mereka
hanya ingin melihat perkembangan apakah telah ada seorang pemuda datang memenuhi permintaan
Kartareja akan sebuah ringgit emas. Mereka sendiri tidak mempunyai uang sebanyak itu. Namun
kesempatan mereka mungkin terbuka bila tidak ada pemuda yang sanggup memenuhi syarat yang
ditentukan oleh Kartareja. Dalam hal terjadi demikian, diharapkan Kartareja akan menurunkan tarifnya.
Tidak seperti malam-malam sebelumnya, rumah Kartareja sudah sepi sejak sore. Dukun ronggeng itu telah
mengusir anak-anak yang datang. Tetapi orang-orang tua tidak perlu kena usir. Mereka, orang-orang
Dukuh Paruk, telah maklum Kartareja sedang menghadapi hajat penting, dan tidak ingin mengganggunya.
Sinar lampu mengenai tubuh Dower ketika dia mencapai halaman rumah Kartareja. Pemuda itu berhenti
sejenak. Dari sana Dower dapat melihat Kartareja sedang duduk seorang diri, mengepul-ngepulkan asap
rokoknya. Di samping makan sirih, kakek itu juga perokok yang kuat.
Sesungguhnya Kartareja sedang gelisah. Namun perasaan itu tertutup oleh ketenangannya. Sudah Jumat
malam. Seorang pemuda pun belum juga datang memenuhi harapannya, menyerahkan sekeping ringgit
emas bagi keperawanan Srintil. “Alangkah malu bila sayembara bukak-klambu yang kuselenggarakan tidak
berhasil. Sia-sialah tiga ekor kambing yang telah kujual,” pikir Kartareja seorang diri. Tetapi lamunan
dukun ronggeng itu terhenti ketika pintu depan berderit.
“Kula nuwun,” Dower mengucapkan salam.
“Mangga,” jawab Kartareja. Dijulurkannya lehernya sambil menyipitkan mata. Sinar lampu membuat
matanya silau. “Oh, mari masuk.”
Dower melangkah di bawah tatapan Kartareja. Lalu duduk. Berderit bunyi pelupuh lincak yang
didudukinya. Kartareja segera tahu tamunya datang dari jauh karena mendengar nafas Dower yang
terengah-engah.
“Engkau kelihatan lelah. Dari mana engkau datang, Nak?” tanya Kartareja membuka percakapan.
“Dari Pecikalan, Kek. Namaku Dower.”
“Wah, Pecikalan? Alangkah jauh.”
“Yah, Kek. Itulah, jauh-jauh saya datang karena saya mendengar kabar.”
“Tentang bukak-klambu, bukan?”
“Benar, Kek.”
“Waktunya besok malam. Engkau sudah tahu akan syarat yang kuminta, bukan?” tanya Kartareja tanpa
melihat tamunya.
“Saya sudah tahu. Sebuah ringgit emas,” jawab Dower datar.
“Betul. Apakah sekarang kau telah membawanya?”
Dower tersipu. Dia tidak berani mengangkat muka. Kartareja melepas napas panjang. Dalam hati dia
mengeluh, karena belum juga muncul sebuah ringgit emas yang diinginkannya.
“Wah, Kek,” kata Dower akhirnya. “Pada saya baru ada dua buah rupiah perak. Saya bermaksud
menyerahkannya kepadamu sebagai panjar. Masih ada waktu satu hari lagi. Barangkali besok bisa
kuperoleh seringgit emas.”
Kartareja tidak segera memberi tanggapan. Kecewa dia. Diisapnya rokoknya dalam-dalam. Asap
dihembuskannya jadi desah panjang. Namun Kartareja berfikir, dua buah uang rupiah perak adalah jumlah
paling banyak yang disanggupi oleh seorang calon sampai pada saat itu.
“Jadi begitulah maksudmu, Nak?”
“Ya, Kek.”
“Baiklah. Uang panjarmu bisa kuterima. Tetapi besok malam kau harus datang membawa sebuah ringgit
emas. Kalau tidak, apa boleh buat. Kau kalah dan uang panjarmu hilang. Bagaimana?”
“Kalau aku gagal memperoleh sebuah ringgit emas maka uang panjarku hilang?” tanya Dower.
“Ya!” Jawab Kartareja singkat. Rona kelicikan mewarnai wajahnya. Dower termangu, tampak berfikir
keras.
“Kalau engkau berkeberatan, maka terserah. Silakan berfikir. Atau segera pulang ke Pecikalan selagi
malam belum larut. Aku akan menunggu pemuda lain, beberapa orang yang akan segera tiba.”
Gertakan halus Kartareja mengena. Buktinya, Dower menjadi gelisah, lalu berkata,
“Baik, baik, Kek. Kuterima syarat itu. Nah, inilah uang panjar itu.”
Dower berdiri agar mudah merogoh saku celananya. Sesaat kemudian terdengar kemerencing. Dua buah
uang rupiah perak tergeletak di atas meja, berkilat-kilat terkena sinar lampu. Kartareja meraupnya, lalu
dimasukkannya ke dalam saku di ikat pinggangnya. Pada saat itu muncul Srintil membawa baki berisi teko
dan dua buah cangkir. Di piring ada goreng ubi. Ketika meletakkan hidangan itu Srintil menggigit bibir.
Sekali pun dia tidak mengangkat muka ke arah Dower, membuat hati pemuda dari Pecikalan itu malah
penasaran. Kartareja tersenyum melihat Dower resah dalam duduknya.
Aku mengenal dengan sempurna setiap sudut tersembunyi di Dukuh Paruk. Ketika Kartareja
bercakap-cakap dengan Dower aku mendengarnya dari balik rumpun pisang di luar rumah. Jadi saat itu
sudah kuperoleh gambaran pertama Dower-lah yang akan memenangkan malam bukak-klambu. Aku belum
mengenal perjaka Pecikalan itu. Tetapi kebencianku kepadanya langsung melangit.
Segera terbayang olehku Dower memperlakukan Srintil secara tidak senonoh dalam tempat tidur
berkelambu itu. Pasti, sangat pasti, Dower tidak seperti aku yang selalu bersikap hormat kepada ronggeng
itu. Bertahun-tahun lamanya aku menyusun gambaran sedikit-demi sedikit, sehingga terbentuk gambaran
Emak secara hampir lengkap pada diri Srintil. Maka Srintil mendapat tempat yang mulia dalam hidupku.
Sedangkan Dower tidak demikian. Dia akan merasa telah membeli Srintil. Dalam waktu satu malam Srintil
akan menjadi barang yang sudah terbeli. Dower akan memperlakukannya sebagaimana dia suka. Bajingan
tengik!
Dan aku meludah sengit.
Di langit tak sebuah bintang pun kelihatan. Secercah warna terang tampak di langit sebelah barat.
Pastilah bulan berada di balik sana. Keremangan yang dibuatnya mampu memperlihatkan bayangan seekor
kalong yang terbang perlahan ke selatan. Kirapnya malas, namun pasti. Lepas dari bayangan bulan, kalong
itu lenyap.
Perhatianku kembali kepada Dower ketika pintu depan rumah Kartareja berderit. Perjaka Pecikalan itu
keluar. Kukira dia akan segera berusaha menepati janji yang diucapkannya di depan dukun ronggeng itu,
mencari sekeping ringgit emas sampai dapat. Atau dia akan kehilangan dua buah rupiah perak bila
usahanya gagal.
Aku tak mengerti mengapa tiba-tiba aku memutuskan keluar dari tempat persembunyian lalu dengan
diam-diam mengikuti Dower dari belakang. Sambil berjalan berjingkat agar tak diketahui oleh Dower, aku
sudah berkhayal tentang perkelahian. Bagaimana seandainya Dower langsung kutinju tengkuknya. Atau
kutendang pinggangnya sehat tenaga. Pokoknya aku ingin melumat perjaka Pecikalan yang akan
menggagahi Srintil itu.
Tak kusangka keinginanku menyakiti Dower dapat terlaksana. Sampai dekat gardu Dower berhenti,
kemudian sumpah serapah keluar dari mulutnya. Aku tahu kemudian tiga orang pemuda yang tadi
berkumpul di gardu ronda melempar Dower dengan gumpalan lumpur.
“Bajingan tengik! Siapa berani melempari aku?” seru Dower marah.
Tak ada jawaban. Bahkan lemparan-lemparan berikutnya menyusul, tepat mengenai punggung Dower.
Baju dan kainnya belepotan. Kemarahan pemuda Pecikalan itu makin menjadi-jadi. Dia berbalik dan
bertolak pinggang. Kini Dower menghadap ke arahku kira-kira sepuluh langkah di depan.
“He! Kamu asu buntung. Kalau ingin berkelahi, ayo keluar! Ayo hadapi aku; Dower dari Pecikalan!”
Masih belum ada jawaban. Aku bergerak ke samping, menghindar dari pandangan Dower. Rasa ingin ikut
menyakiti Dower muncul di hatiku. Maka aku menekuk kedua kaki demi mencari sesuatu untuk
kulemparkan kepadanya. Tanganku meraba sesuatu yang mengonggok. Tahi sapi. Kotoran itu kuraup
dengan tangan kanan, langsung kulemparkan kepada Dower. Kudengar perjaka Pecikalan itu mengutuk
habis-habisan. Dia hendak melangkah ke depan. Tetapi batal karena dari arah belakang meluncur
gumpalan-gumpalan lumpur, makin lama makin seru. Akhirnya Dower tak bisa berbuat lain kecuali
menutup muka dengan kedua tangan agar matanya terhindar dari hujan lumpur.
Tidak tahan menghadapi serangan gelap itu akhirnya Dower lari. Bukan main sakit hatinya ketika dia
mendengar beberapa pemuda terbahak-bahak. Dower berbelok ingin mengejar para penyergapnya. Tetapi
dia belum memahami lorong-lorong di Dukuh Paruk. Dower kehilangan jejak. Hanya terdorong ingin
membalas dendam maka Dower terus berlari dalam gelap. Akhirnya, byur! Dower terjerumus masuk ke
dalam sebuah kubangan yang dalam. Sekali lagi terdengar suara gelak tawa tiga orang pemuda. Sebaliknya
Dower berteriak-teriak seperti orang kesurupan.
Tak ada yang peduli pada Dower yang menggapai-gapaikan tangannya dari dalam kubangan itu. Ketika
akhirnya ia berhasil naik, seluruh tubuhnya basah kuyup dan kotor. Perjaka Pecikalan masih bertambah
sakit hati karena dia mendengar para penyerang menertawakannya.
Suara yang menghinakannya itu makin lama terdengar makin jauh. Dower tidak pernah tahu aku masih
berada di dekatnya. Maka aku masih sempat mendengar Dower mengeluh. “Bajingan! Asu buntung!”
Hari Sabtu tiba. Hari yang sangat mengesankan karena batinku ternista luar biasa. Kukira aku takkan
pernah berhasil melukiskan pengalaman batinku secara memadai. Hal ini mungkin karena aku tak
mempunyai cukup kefasihan. Atau karena orang takkan bisa percaya akan penderitaan batin seorang anak
Dukuh Paruk yang bernama Rasus, yang dalam hidupnya mempunyai emak hanya dalam angan-angan.
Srintil, yang entah bagaimana dalam banyak hal kuanggap sebagai jelmaan Emak, sore nanti akan dirusak.
Kukatakan begitu meski sesungguhnya tidak demikian. Bagiku, setelah Srintil dijual dengan harga sebuah
ringgit emas, dia bukan Srintil lagi, melainkan seorang ronggeng Dukuh Paruk. Tidak lebih. Hanya seorang
ronggeng Dukuh Paruk takkan dapat kuandaikan sebagai diri Emak.
Serasa aku akan kehilangan emak buat kali kedua. Andaikan ada orang percaya akan kegetiran yang
melanda hatiku. Atau andaikan ada orang yang mau kuajak berbicara tentang masalah ini, boleh jadi
kesedihanku bisa terbagi. Tetapi hanya dirikulah yang tahu dan merasakan segalanya. Bahkan aku begitu
yakin Srintil tidak tahu persis kemalangan apa yang kurasakan bila dia sudah terbeli dengan sebuah ringgit
emas. Seperti pernah dikatakannya kepadaku, Srintil lahir di Dukuh Paruk untuk menjadi ronggeng. Maka
dengan rela hati dia akan menjalani malam bukak-klambu, apa pula dengan kemungkinan baginya
memiliki ringgit emas.
Katakanlah pagi itu seperti biasa aku keluar melepaskan kambing-kambing. Tetapi sesungguhnya
binatang-binatang itu telah lama kutelantarkan. Pagi itu pun aku tak peduli kambing-kambingku memasuki
ladang orang. Aku sendiri duduk di pinggir kampung memandang amparan sawah yang penuh air.
Di atasku, pada pucuk pohon sengon, hinggap tiga ekor burung keket. Satu jantan, satu betina dan anak
mereka yang selalu mengibas-ngibaskan sayap minta makan. Salah seekor induk burung itu segera menukik
ke bawah bila melihat capung atau belalang terbang, kemudian hinggap lagi di tempat semula. Serangga
tangkapan dihancurkannya bukan untuk dirinya sendiri, melainkan untuk anak mereka. Citra sebuah
keluarga yang utuh.
Kukira Emak pun akan berlaku seperti induk burung keket itu. Dia akan melindungiku, mencarikan makan
selagi aku masih kanak-kanak. Bersama Ayah, Emak akan mengajakku bercengkerama seperti keluarga
burung keket itu. Nah, hal itu hanya terjadi dalam angan-angan. Seperti belasan anak Dukuh Paruk
lainnya, aku telah yatim-piatu sejak anak-anak. Keparat, malapetaka tempe bongkrek itu.
Kukira kicau burung keket serta bunyi air yang tumpah lewat punggung pematang akan terus membawaku
melamun bila Warta tidak datang mengusik.
“Nah. Kulihat kau lama sekali termenung di situ. Nenekmu tidak menanak gaplek pagi ini?” ujar Warta.
“Misalnya demikian apa salahnya kita mencari talas dan kita bakar di sini?”
“Aku tak ingin makan,” jawabku tak peduli.
“Jadi?”
“Pergilah. Jangan ganggu aku.”
"Baru kali ini kudengar engkau mengusirku, Rasus. Aku ingin tahu apa yang sebenarnya sedang
kaupikirkan.”
“Itu urusanku. Misalkan kuberi tahu, kau takkan dapat menolongku. Tapi aku takkan mengatakan apa-apa
kepadamu. Jadi, baik urusi kambingmu.”
“Wah, kalau begitu aku bisa menebak. Rasus, kau tak perlu mungkir. Kau sedang termakan pekasih yang
dipasang oleh Nyai Kartareja pada diri Srintil, bukan? Hayo, baik mengaku! Kepadaku kau akan sia-sia
menyimpan rahasia.”
Aku tertawa meskipun terdengar tawar. Tengik betul, Warta menebakku dengan jitu. Melihat ulahku
Warta tahu aku telah mengaku. Tawanya terdengar keras sekali.
“Oh kasihan kawanku ini. Kau senang akan Srintil, tetapi nanti malam ronggeng itu dikangkangi orang.
Wah...”
“Bangsat engkau, Warta.”
“Bagaimana? Bukankah aku berkata tentang kebenaran?”
“Ya. Tetapi kau jangan menambah sakit hatiku.”
“Rasus, kau boleh sakit hati. Kau boleh cemburu. Tetapi selagi kau tak mempunyai sebuah ringgit emas,
semuanya menjadi sia-sia.”
“Ya, kawan. Namun sesungguhnya kau dapat memberi sedikit hiburan padaku. Bertembanglah. Seperti
biasa.”
Tidak sulit membuat Warta mau bertembang bila orang mau menyediakan setumpuk kata pujian baginya.
Di antara sesama anak Dukuh Paruk, Warta dikenal mempunyai suara paling bagus. Tembang
kegemarannya juga menjadi kegemaran setiap anak di pedukuhan itu, sebuah lagu duka bagi para
yatim-piatu. Orang takkan menemukan siapa penggubah lagu itu yang mampu mewakili nestapa anak-anak
yang di dunia tanpa ayah dan emak.
Lagu yang menjadi terkenal di Dukuh Paruk semenjak belasan anak kehilangan kedua orang tua akibat
racun tempe bongkrek sebelas tahun yang lalu.
Bedug tiga datan arsa guling
Padang bulan kekencar ing latar
Thenguk-thenguk lungguh dhewe
Angine ngidid mangidul
Saya nggreges rasaning ati
Rumasa yen wus lola
Tanpa bapa biyung
Tanpa sanak tanpa kadang
Urip sengsara tansah nandhang prihatin
Duh nyawa gondelana...
Pukul tiga dinihari, aku belum mau terlena. Bulan menabur cahaya di halaman, selagi aku termangu
seorang diri. Angin yang berembus ke selatan membuat hati semakin merana. Beginilah awak yang telah
sebatang kara. Tiada ayah-bunda, tiada sanak-saudara. Hidupku yang papa selalu dirundung derita. Oh,
nyawa bertahanlah kau di badan...
Warta sudah beratus kali menembangkan lagu itu. Dia tidak lagi tertarik akan makna liriknya. Hanya irama
lagu itu yang kiranya akan tinggal abadi di hati Warta dan anak-anak lain di Dukuh Paruk. Selesai
menembangkan lagu itu Warta menoleh kepadaku. Dia melihat aku menggigit bibir, dan mungkin mataku
berkaca-kaca.
“Lho?” ujar Warta tak mengerti. “Apa pula arti semua ini?”
“Tidak apa-apa, Warta. Percayalah, sahabatku, tak ada yang salah pada diriku. Aku terharu. Suaramu
memang bisa membuat siapa pun merasa begitu terharu.”
“Hanya itu? Bagaimana dengan Srintil yang akan diperkosa nanti malam?”
Jangkrik!
Meski aku menanggapi kata-kata Warta dengan senyum, namun sesungguhnya hatiku dibuatnya perih,
sangat perih. Sehingga aku tak bisa berkata-kata lagi. Hanya umpatku dalam hati, “Warta, kamu bangsat!
Kau katakan Srintil akan diperkosa nanti malam? Memang betul. Tetapi mengapa kaukatakan hal itu
kepadaku?”
Kukira Warta memandangku dari belakang ketika aku berjalan meninggalkannya. Aku tak peduli dan terus
berjalan sepembawa kakiku. Perjalanan yang tanpa tujuan membawaku sampai ke lorong yang menuju
pekuburan Dukuh Paruk. Seharusnya aku terus melangkah bila tidak kulihat seseorang berjalan
merunduk-runduk di antara batang-batang puring. Srintil! Aku tak mungkin salah, dialah orangnya.
Tak mengetahui aku membuntutinya, Srintil terus berjalan. Langkahnya berkelok menghindari
tonggak-tonggak nisan, atau pohon kemboja yang tumbuh rapat. Setelah berbelok ke kiri, langkah Srintil
lurus menuju cungkup makam Ki Secamenggala. Kulihat Srintil jongkok, menaruh sesaji di depan pintu
makam. Ketika bangkit dan berbalik, ronggeng itu terperanjat. Aku berdiri hanya dua langkah di
depannya.
“He, kau, Rasus?”
“Aku mengikutimu.”
“Aku disuruh Nyai Kartareja menaruh sesaji itu. Bukankah malam nanti...”
“Cukup! Aku sudah tahu malam nanti kau harus menempuh bukak-klambu,” aku memotong cepat. Habis
berkata demikian aku melangkah pergi. Tetapi Srintil menarik bajuku.
“Rasus, hendak ke mana kau?”
“Pulang.”
"Jangan dulu. Jangan merajuk seperti itu. Kita bisa duduk-duduk sebentar di sini.”
Ternyata aku tak menolak ketika Srintil membimbingku duduk di atas akar beringin. Tetapi baik Srintil
maupun aku lebih suka membungkam mulut. Mestilah ronggeng kecil itu merasa sedang menghadapi
seorang anak laki-laki yang akan mengalami kekecewaan. Srintil pasti tahu aku menyukainya. Jadi dia tahu
pula bahwa malam bukak-klambu baginya menjadi sesuatu yang sangat kubenci. Hanya itu. Atau, apakah
aku harus mengatakan secara jujur bahwa Srintil lebih kuhormati daripada seorang kecintaan? Tidak. Aku
tak mempunyai keberanian mengatakan hal itu kepadanya. Maka biarlah, Srintil tetap pada pengertiannya
tentang diriku secara tidak lengkap. Seekor serangga kecil akhirnya membuka jalan bagi permulaan
percakapan kami. Nyamuk belirik hinggap di pipi Srintil. Perutnya menggantung penuh darah.
“Srin, tepuk pipimu yang kanan. Ada nyamuk.”
“Aku tak dapat melihatnya.”
“Tentu saja. Tetapi tepuklah pipi kananmu agak ke atas pasti kena.”
“Tidak mau. Engkau yang harus menepuknya.”
“Tanganku kotor.”
“Tidak mengapa. Hayo tepuklah!”
Aku patuh. Tangan kuayunkan. Meski dengan gerak gamang, nyamuk yang menjadi lamban karena terlalu
banyak mengisap darah itu kena.
Telapak tangan kutekan pada pipi Srintil. Ketika kubuka tergores setitik darah. Ada noda merah pada pipi
yang putih.
Sunyi dan sepi. Sepotong ranting kecil runtuh. Bunyi keletik terdengar ketika ranting itu menimpa
selembar daun. Seekor bengkarung muncul di hadapanku, dan berlari cepat mengejar capung yang
hinggap di tanah. Kelengangan berlanjut karena aku dan Srintil membisu kembali. Angin bertiup lambat.
Suara belalang kerik menyambutnya dari lereng sempit di sebelah selatan pekuburan.
Entah Srintil. Tetapi aku dalam kelengangan pekuburan Dukuh Paruk merasa menjadi sekedar seonggok
benda alam. Tiada beda dengan batu-batu berlumut di hadapanku, atau dengan berpuluh nisan cadas yang
terpaku mati dan terserak memenuhi pekuburan itu. Boleh jadi pada saat itu akal-budiku berhenti.
Kehendak alami menggantikannya.
Aku tak bergerak sedikit pun ketika Srintil merangkulku, menciumiku. Napasnya terdengar cepat.
Kurasakan telapak tangannya berkeringat. Ketika menoleh ke samping kulihat wajah Srintil tegang. Ah,
sesungguhnya aku tidak menyukai Srintil dengan keadaan seperti itu. Meski aku tidak berpengalaman,
tetapi dapat kuduga Srintil sedang dicekam renjana birahi. Tanpa melepas lingkaran tangannya di
pundakku, Srintil menoleh sekeliling. Dia was-was ada orang lain di sekitar tempat itu. Sebenarnya Srintil
tak usah terlalu curiga. Pohon-pohon puring dan kemboja yang mengelilingi pekuburan Dukuh Paruk
menjadi pagar yang sangat rapat.
Srintil melepaskan rangkulannya. Kemudian aku mengerti perbuatan itu dilakukannya agar Srintil dapat
membuka pakaiannya dengan mudah.
Aku sering melihat perempuan mandi telanjang di pancuran. Jadi aku sudah tahu beda tubuh laki-laki dan
tubuh perempuan. Tetapi yang kulihat saat itu adalah gambaran perempuan yang utuh. Hanya tidak
seperti perempuan dewasa, dada Srintil rata, pinggangnya rata.
Bahwa Srintil mengharap aku juga akan membuka pakaian, sudah kumengerti. Andaikata aku adalah
Darsun atau Warta, semuanya sudah kulakukan. Malah aku menjadi pihak pertama yang mengambil
prakarsa. Nah, aku bukan Darsun, bukan pula Warta. Aku Rasus, anak yang merasa paling malang karena
Emak lenyap tanpa kepastian. Emak mati oleh racun tempe bongkrek kemudian mayatnya dicincang, atau
emak masih hidup dan meninggalkan aku, lari bersama mantri keparat itu. Tidak pasti mana yang benar.
Dan ketidakpastian itu selalu membuatku hampir gila.
Rasanya, sebagai anak laki-laki tak ada yang salah pada tubuhku. Melihat Srintil telanjang bulat di
hadapanku, aku teringat kambing jantanku bila sedang birahi. Jantung memompa darahku ke segala
penjuru. Pada bagian organ tertentu, arteri begitu padat berisi darah hingga menggembung dan
menegang. Kehendak alam terasa begitu perkasa menuntutku bertindak.
Srintil menarik tanganku.
Kupandangi wajahnya yang merona merah. Kupandangi matanya yang berkilat-kilat. Kupandangi pucuk
hidungnya dengan bintik-bintik keringat di pucuknya. Kemudian perlahan semua yang tertangkap oleh
lensa mataku bergoyang, lalu membaur. Bayangan sosok Srintil melenyap. Yang muncul menggantikannya
adalah halimun.
Aku percaya; hanya aku yang sejak anak-anak mengkhayalkan demikian dalamnya tentang seorang emak
karena aku sangat ingin melihatnya. Khayalan demikian yang hampir sepanjang usia, akhirnya mampu
mendatangkan ilusi; bahwa yang berdiri telanjang di depanku bukan Srintil, bukan pula ronggeng Dukuh
Paruk, melainkan perempuan khayali yang melahirkan diriku sendiri. Di sana, di bagian dada kulihat
sepasang puting di mana aku menetek hampir selama dua tahun. Di sana, di balik pusar, aku pernah
bersemayam selama sembilan bulan dalam rahimnya. Dan ketika aku melihat jalan yang kulewati ketika
lahir, mataku berkunang-kunang. Badanku basah oleh keringat dingin. Kemudian aku tak bisa berbuat lain
kecuali menutup muka dengan dua telapak tangan.
“Rasus, kau tak mau?” tanya Srintil dengan suara hampir tak kudengar. “Takkan ada orang melihat kita di
sini.”
“Srin, ini tanah pekuburan. Dekat dengan makam Ki Secamenggala pula. Kita bisa kualat nanti,” jawabku.
Dalih yang sangat gemilang mendadak muncul di otakku.
Kulihat Srintil termangu. Napasnya masih memburu. Rona wajahnya berubah. Terkesan rasa kecewa.
Ronggeng Dukuh Paruk itu tetap berdiri seperti batu-batu nisan di belakangnya. Tanpa gerak.
“Kita tak bisa berbuat sembrono di tempat ini,” kataku sambil membenahi pakaian Srintil.
“Ya, tetapi kau sungguh bangsat.”
“Maafkan aku, Srin. Sungguh! Aku minta engkau jangan marah kepadaku,” kataku menirukan cara seorang
kacung yang minta belas-kasihan kepada majikannya.
Dengan sabar kutunggu sampai Srintil tenang kembali. Mukanya yang tegang perlahan-lahan kembali
seperti biasa.
“Ya, Rasus. Aku tidak marah.”
“Begitulah seharusnya. Apalagi bila kita mengingat ceritera itu.”
“Kau benar. Untung kau memperingatkan aku. Kalau tidak, entah apalah jadinya.”
Ceritera yang kumaksud adalah sebagian dongeng yang hanya dimiliki oleh Dukuh Paruk. Konon menurut
dongeng tersebut pernah terjadi sepasang manusia mati di pekuburan itu dalam keadaan tidak senonoh.
Mereka kena kutuk setelah berjinah di atas makam Ki Secamenggala. Semua orang Dukuh Paruk percaya
penuh akan kebenaran ceritera itu. Kecuali aku yang meragukannya dan mencurigainya hanya sebagai
salah satu usaha melestarikan keangkeran makam moyang orang Dukuh Paruk itu.
Tak kusadari betul berapa lama aku berdua Srintil berada di dalam kelengangan pekuburan Dukuh Paruk.
Dari tempatku duduk aku tak melihat matahari. Kerimbunan beringin menghalanginya. Meski tak tahu
hendak berbuat apa, kukira kami masih akan tinggal lama di pekuburan itu. Tetapi aku mendengar
sayup-sayup orang memanggil. Aku tak lupa, itulah suara Nyai Kartareja.
“Aku harus pulang, Rasus. Nyai Kartareja memanggilku. Sudah terlalu lama aku pergi.”
Hanya anggukan kepala yang bisa kuberikan sebagai tanggapan. Srintil bangkit, kemudian berjalan
berkelok-kelok menghindari tonggak-tonggak nisan. Rumpun-rumpun puring bergoyang tersibak oleh Srintil
yang berjalan cepat. Kupu-kupu berterbangan dari pohon kemboja yang sedang berbunga. Aku berdiri
memandang Srintil yang tampak dan hilang terhalang pepohonan. Sampai di tempat terbuka tampaklah
ronggeng itu berlari. Rambutnya terburai ke belakang. Ada sesuatu terasa lenyap dari hatiku, dan aku tak
tahu benar apakah itu.
Sore hari paling getir yang pernah kualami. Pulang dari pekuburan aku tidak masuk ke rumah. Nenek yang
memanggil-manggil karena hidangan bagiku terbengkalai sejak siang tak kuhiraukan. Aku duduk dekat
kandang kambing memperhatikan burung-burung bluwak yang pulang ke pucuk-pucuk bambu di Dukuh
Paruk. Atau lengkung bianglala di langit sebelah barat. Pagelaran alam yang damai dan indah. Tetapi aku
tidak bisa menikmatinya. Sebuah sisi di hatiku yang mampu menangkap bentuk-bentuk keindahan tertutup
oleh rasa gelisah karena beberapa jam mendatang Srintil bukan lagi Srintil.
Aku sadar betul diriku terlalu kecil bagi alam, bahkan bagi Dukuh Paruk yang sempit itu. Maka segalanya
berjalan seperti biasa. Kusaksikan matahari tenggelam. Puluhan ekor kampret dan kalong kcluar
mendaulat langit Dukuh Paruk menggantikan burung layang-layang dan burung-burung lainnya.
Pelita-pelita kecil mulai dinyalakan menerangi beranda-beranda yang berbatas dinding bambu. Nyamuk
dan agas terbang berputar-putar mengelilingiku. Hari benar-benar telah menjadi gelap, dan aku bergerak
masuk ke rumah.
Dukuh Paruk seperti hendak berangkat tidur. Anak-anak tak satu pun kelihatan. Bahkan suara mereka
tiada lagi terdengar. Hanya sesekali terdengar keributan kecil di kandang kambing. Mereka gelisah oleh
sengatan nyamuk. Atau mereka melihat sepasang mata yang berkilau kebiru-biruan dalam gelap; mata
seekor kucing liar.
Kedua puluh tiga rumah di Dukuh Paruk sudah kelihatan sepi, kecuali rumah Kartareja. Di rumah dukun
ronggeng itu sudah beberapa malam lampu besar dinyalakan. Nyai Kartareja telah selesai mendandani
Srintil dengan kain dan baju baru. Rambutnya disanggul. Kartareja menyalakan pedupaan, yang
diletakkannya di sudut halaman. Sebuah gayung dengan tangkainya yang tertanam di dalam tanah juga
ada di sana. Celana kolor bekas, kutang bekas serta pakaian dalam lainnya dilemparkan ke atas genting.
Selesai dengan pekerjaan itu, Kartareja berdiri di tengah halaman dengan wajah menatap langit. Dukun
ronggeng itu sedang melakukan ritus penangkal hujan.
Aku sedang duduk di atas lincak di beranda. Gelap, karena aku malas menyalakan lampu. Dari jalan
sempit yang menuju rumah Kartareja kudengar lenguh seekor kerbau. Malam hari ada orang menuntun
kerbau, adalah hal yang tidak biasa terjadi di Dukuh Paruk. Apalagi di pedukuhan itu tak seorang pun
mampu memelihara ternak tersebut. Ketika melewati depan sebuah rumah iring-iringan itu tampak jelas.
Kukenali betul siapa penuntun kerbau itu: Dower. Seorang perjaka dari kampung Pecikalan menuntun
seekor kerbau menuju rumah Kartareja. Segera kuduga hal ini bersangkut-paut dengan acara
bukak-klambu malam ini. Kain sarung kusambar dari sampiran, lalu aku berjalan mengendap ke rumah
dukun ronggeng itu dari arah belakang. Sampai di sana kulihat ternak besar itu telah tertambat di samping
rumah Kartareja. Seperti malam kemarin, aku ingin mendengarkan percakapan antara Kartareja dan
Dower. Maka aku berjingkat ke emper samping. Dari celah dinding bambu aku mengintip ke dalam. Dower
dengan bajunya yang baru duduk di hadapan tuan rumah. Srintil tidak kelihatan. Namun aku mendengar
bisik-bisik antara Nyai Kartareja dengan ronggeng itu.
Sambil mengusap wajahnya yang berkeringat, Dower membuka pembicaraan.
“Aku datang lagi, Kek. Meski bukan sekeping ringgit emas yang kubawa, kuharap engkau mau
menerimanya.”
“Lho. Bukan sebuah ringgit emas?” tanya Kartareja.
“Bukan, Kek.”
“Apa? Ringgit timah?”
“Seekor kerbau betina yang besar. Binatang itu paling tidak bernilai sama dengan sebuah ringgit emas,”
kata Dower menerangkan. Namun Kartareja menyambutnya dengan senyum kecut, bahkan menyepelekan.
Dower menjadi gelisah dalam duduknya.
“Tetapi ringgit emas bisa masuk saku celana. Bagus, tidak kotor dan aku takkan disusahkannya dengan
urusan kandang, rumput serta bau busuk,” ujar Kartareja sambil membuang muka.
“Kau memang benar, Kek. Tetapi bila dua buah rupiah perak yang kujadikan panjar menjadi milikmu,
kukira pemberianku cukup, lebih dari cukup. Bagaimana?”
Kartareja tidak mengubah roman muka meski dalam hati dia merasa menang. Seekor kerbau betina yang
besar ditambah dengan dua keping rupiah perak. Dukun ronggeng itu terbahak dalam hati. Hanya karena
Kartareja sudah amat berpengalaman maka dia dapat mengendalikan perasaannya.
“Tetapi bagaimana juga kau tak bisa kuanggap telah mencukupi syarat yang kutentukan. Seekor kerbau
dan dua buah rupiah perak tidak sama dengan sebuah ringgit emas.”
“Jadi engkau menolak, Kek?” tanya Dower gelisah.
“Ya. Kecuali...”
“Kecuali apa?” potong Dower cepat.
“Kecuali kau mau hanya menjadi cadangan. Bila sampai tengah malam nanti tak ada orang lain membawa
ringgit emas kepadaku, maka kaulah pemenangnya. Kalau kau menolak, silakan terima kembali dua rupiah
perak ini. Bawalah pula kerbaumu itu.”
Dower tidak menyangka Kartareja akan menolak dengan kata-kata sekeras itu. Perjaka Pecikalan
tergagap. Bukan main kecewa hatinya. Dower merasa telah melakukan segala usaha agar bisa
memenangkan sayembara bukak-klambu, tidur semalam-malaman di atas tempat tidur empuk bersama
ronggeng Dukuh Paruk yang masih perawan. Teringat kembali oleh Dower bagaimana dia mendongkel
lemari milik orang tuanya untuk mencuri uang rupiah perak itu. Tentu Dower teringat pula pengalaman
siang tadi. Dengan gemilang dia berhasil mengecoh ayahnya. Dari sawah kerbau milik ayahnya yang paling
besar dituntun pulang. Bukan dimasukkannya ke dalam kandang, melainkan terus dibawanya ke Dukuh
Paruk. Kini Dower merasa segala akal busuknya belum tentu membuahkan hasil. Bahkan bayangan
kegagalan muncul di depan matanya. Dalam hati, Dower mengutuk Kartareja dengan sengit. “Si Tua
Bangka ini sungguh-sungguh tengik!”
Dari tempat gelap di balik dinding aku bisa merasakan kekakuan antara Dower dan Kartareja. Di antara
keduanya tidak terjadi percakapan lebih lanjut. Dower merasa berat menerima syarat baru yang dikatakan
oleh Kartareja. Sebaliknya dukun ronggeng itu tidak hendak mundur dari pendiriannya.
Kebekuan di beranda rumah Kartareja berakhir. Di halaman kelihatan seorang muda datang dengan
sepeda berteromol. Dower langsung tahu siapa pemuda itu. Dari suara sepedanya Dower telah memastikan
kedatangan Sulam. Hati pemuda Pecikalan resah karena dia tahu seorang saingan tangguh telah datang.
Sebaliknya, Kartareja tersenyum. Dia juga kenal siapa Sulam adanya; anak seorang lurah kaya dari
seberang kampung. Meski masih sangat muda Sulam dikenal sebagai penjudi dan berandal. Seorang seperti
Kartareja tidak merasa perlu mencari orang-orang alim. Dia hanya memerlukan sebuah ringgit emas
sebagai nilai keperawanan Srintil.
Sulam melangkahi ambang pintu dengan caranya sendiri. Ucapan salam tak perlu baginya. Kebanggaan
menjadi anak seorang lurah dibawanya ke mana-mana. Tetapi Sulam berhenti dan tertegun sejenak ketika
dilihatnya seorang pemuda lain sudah duduk di hadapan Kartareja. Saling tatap antara Dower dan Sulam
terjadi sejenak. Melalui sorot mata masing-masing mereka saling mengejek.
“Ada anak Pecikalan di sini?” kata Sulam angkuh. Sebelum tuan rumah menjawab, Dower menyahut lebih
dahulu.
“Ya! Mengapa? Aku telah menyerahkan seekor kerbau dan dua buah uang rupiah perak. Semua itu bernilai
lebih dari pada sebuah ringgit emas,” kata Dower bangga. Keterangan ini membuat Sulam penasaran. Dia
tidak percaya.
“Betul kata anak Pecikalan ini, Kek?” tanya Sulam kepada Kartareja. Kakek itu tidak segera memberi
jawaban. Tanpa melihat kepada Sulam maupun Dower, kemudian Kartareja berkata.
“Dower tidak berbohong. Tetapi duduklah dulu. Kau belum mengatakan maksud kedatanganmu ke rumah
ini.”
“Lho. Kau menyelenggarakan bukak-klambu malam ini, bukan?” tanya Sulam masih dengan caranya yang
angkuh.
“Betul.”
“Nah, mengapa kau bertanya maksud kedatanganku. Kaukira aku akan datang kemari bila kau tidak
menjamuku dengan ronggeng itu?”
“Baiklah. Bila demikian katamu, pasti kau sudah siap dengan sebuah ringgit emas,” ujar Kartareja.
“Sebuah pertanyaan yang menghina, kecuali engkau belum mengenalku. Tentu saja aku membawa sebuah
ringgit emas itu. Bukan rupiah perak, apalagi seekor kerbau seperti anak Pecikalan ini,” ujar Sulam sambil
melirik ke arah Dower. Yang dilirik tersengat hatinya lalu membalas keras.
“Sulam! Kau boleh pongah kepada siapa pun tetapi jangan kepadaku. Yang hendak kuserahkan kepada
Kartareja lebih mahal daripada sekedar sebuah ringgit emas. Dan kau Kartareja! Alangkah dungu bila kau
menolak pemberianku dan menerima pemberian Sulam.”
“Eh? Engkau marah? Kaulah yang dungu! Kartareja hanya meminta ini sebagai syarat, bukan yang lain-lain,
apa pun bentuknya,” ujar Sulam sambil membantingkan uang logam kuning ke atas meja. Kemilau
cahayanya.
“Berilah lebih banyak bila kau memang kaya,” tantang Dower.
“Bila sejak semula Kartareja menghendaki lebih banyak, dua ringgit emas misalnya, pasti kupenuhi. Kau
anak Pecikalan jangan banyak cakap. Pulanglah! Gembalakan kerbaumu di sawah.”
“Sulam. Jangkrik kamu!”
Dua pemuda itu bangkit dan saling pandang dengan sinar mata kemerahan. Baik Sulam maupun Dower
sudah mengepalkan tinju. Tetapi Kartareja tetap tenang. Dia hanya melepaskan rokok dari bibir.
“Sabarlah, Anak muda. Duduklah di tempat masing-masing. Kita akan berbicara baik-baik.”
“Aku hanya mau duduk kembali setelah anak Pecikalan ini enyah dari sini,” seru Sulam keras.
“Jangan suruh aku duduk kecuali kau sudah mengakui pemberianku lebih banyak daripada pemberian
Sulam. Kartareja, kau jangan bodoh!”
Melihat ketegangan semakin menjadi-jadi, Kartareja bangkit dan berdiri di antara kedua tamunya. Nyai
Kartareja keluar. Srintil muncul sebentar di pintu lalu surut kembali. Kedua pemuda yang sedang
bersitegang sempat melihatnya. Aneh. Setelah melihat Srintil kemarahan Dower dan Sulam mereda.
“Oh, kalian bocah bagus,” kata Nyai Kartareja. “Jangan bertengkar di sini. Aku khawatir tetangga nanti
datang karena mendengar keributan. Ayo bocah bagus, duduklah. Kalau kalian terus berselisih, pasti
Srintil merasa takut. Bagaimana bila nanti dia tidak bersedia menjalani bukak-klambu?”
Oleh caranya yang khas gaya seorang mucikari, Nyai Kartareja dapat menenangkan Sulam dan Dower.
Keduanya duduk kembali, masing-masing dengan wajah kecut. Hening. Kartareja duduk termangu.
Dahinya berkerut-kerut, membuktikan ada sesuatu yang sedang dipikirkannya. Kemudian kakek itu bangkit
berdiri. Kata-katanya terdengar pelan penuh wibawa.
“Kalian datang membawa persoalan ke rumah ini. Kalau kalian tidak ingin aku membatalkan rencana, beri
kami kesempatan memecahkan persoalan itu. Hendaknya kalian mau diam sebentar di tempat
masing-masing. Jangan mencoba bertengkar kembali. Aku hendak bermusyawarah sebentar di dalam.”
“Ya, kalian harus menurut. Ingat, Srintil masih sangat muda. Dia tidak biasa mendengar keributan,”
sambung Nyai Kartareja.
Kakek dan nenek itu masuk ke dalam meninggalkan kedua tamunya yang masih membisu di atas lincak.
Antara keduanya sering terjadi saling curi pandang. Tidak lebih. Mereka termakan oleh gertak Kartareja
yang mengancam akan membatalkan malam bukak-klambu.
Di ruang dalam suami-istri itu tidak melihat Srintil. Tetapi mereka tidak berpikir jauh. Paling-paling Srintil
sedang tertelungkup di dalam biliknya dengan hati berdebar-debar. Bila demikian Nyai Kartareja dapat
memahami perasaan gadis itu. Dia masih perawan.
“Ambil dua cangkir,” perintah Kartareja kepada istrinya.
“Kau mau apa?”
“Lihatlah nanti.”
Kartareja mengeluarkan botol-botol dari lemari. Sebuah masih penuh berisi ciu. Sebuah lagi hanya berisi
seperempatnya. Isi botol yang kedua ini ditambah dengan air tempayan hingga penuh. Kepada istrinya
yang datang membawa dua buah cangkir, Kartareja memerintahkan menghidangkan minuman keras itu
kepada Sulam dan Dower.
“Jangan keliru! Yang asli buat Sulam. Lainnya buat Dower,” kata Kartareja. Istrinya tersenyum.
Walaupun tidak selicik Kartareja, namun perempuan itu sudah dapat menduga ke mana maksud tindakan
suaminya.
Bau alkohol tercium oleh Sulam dan Dower. Kegelisahan dan minuman keras. Dua hal yang ditemui
menjadi sahabat di mana-mana. Baik Sulam maupun Dower ingin secepatnya mereguk isi botol yang
disodorkan oleh Nyai Kartareja. Apalagi setelah perempuan itu berkata menantang. “Bocah bagus yang
paling gagah adalah siapa yang lebih dulu menghabiskan minuman keras ini.”
“He, Nyai. Tetapi mengapa kau hanya menyediakan sebotol buatku? Tambah lagi barang dua-tiga botol.
Kau jangan harap akan ada sisa minuman di hadapanku nanti.”
Tidak berbeda gairahnya dengan Sulam, Dower menarik cangkir dan botol yang tersedia baginya.
Betapapun pemuda Pecikalan ini tak ingin disebut sebagai bocah bagus kedua. Dalam hati Dower berkata,
dirinya bukan anak kecil yang akan muntah bila kerongkongan tersiram minuman keras.
Sulam telah mereguk isi cangkir pertama. Tanpa memperdulikan urat-urat tekaknya yang mengerut, dia
meneguk pula isi cangkir kedua. Dan seterusnya. Hanya dalam beberapa saat sebotol ciu keras sudah
mengendap dalam lambungnya. Mula-mula Sulam merasa kulit wajahnya terjerang. Panas. Telinga
berdenging. Badan terasa ringan. Pandangan mata membaur. Lama-kelamaan dunia jungkir-balik di
hadapannya. Tetapi Sulam merasa tenaganya bertambah berlipat ganda.
Bersama suami-istri Kartareja, Dower yang sama sekali tidak mabuk ikut menyaksikan Sulam yang mulai
mengigau. Dalam dunia khayalnya Sulam melihat beribu bintang jatuh dari langit. Telinganya mendengar
suara tembang asmara. Di hadapannya muncul Srintil mengajaknya bertayub. Bau ciu yang menguap dari
mulut sendiri dirasakannya sebagai wewangian yang dikenakan oleh ronggeng Dukuh Paruk itu. Tergugah
birahi Sulam. Terhuyung-huyung dia bangkit. Di tengah beranda dia mulai berjoget. Nyai Kartareja yang
berdiri di dekatnya tidak tampak oleh Sulam sebagai seorang nenek-nenek. Perempuan tua itu kelihatan
oleh Sulam sebagai Srintil yang sedang mengajaknya bertayub.
Oleh suaminya Nyai Kartareja disuruh melayani Sulam yang sedang hilang ingatan. Soal bertayub tak usah
ditanyakan kepada istri dukun ronggeng itu. Dia sangat berpengalaman. Jadilah. Teringat masa mudanya,
maka Nyai Kartareja melayani Sulam dengan sepenuh hati. Dia membiarkan dirinya dibawa berjoget,
bahkan diciumi oleh Sulam.
Renjana yang menguasai Sulam tidak berlangsung lama. Ciu telah mutlak menguasai semua organ
tubuhnya. Gerakannya makin lamban, makin goyah. Ucapan cabul masih sempat keluar dari mulut Sulam
sebelum kedua lututnya terlipat, roboh dalam pelukan Nyai Kartareja. Oleh dukun ronggeng yang dibantu
Dower, Sulam diangkat dan dibaringkan di atas lincak. Seekor kambing jantan telah dikalahkan oleh ciu
dan tipu daya.
“Beres,” kata Nyai Kartareja dengan napas tersengal-sengal.
“Ya, Nyai. Sekarang sudah beres,” jawab Kartareja.
“Engkau tidak mabuk, bukan?” tanya Nyai Kartareja kepada Dower.
“Tidak, Nek. Tidak.”
“Nah! Tunggu apa pula engkau ini?”
“Ah, apa maksudmu?” tanya Dower bingung.
“Si Dungu dari Pecikalan. Engkau tak mengerti aku bersusah payah membuat Sulam mabuk? Sekarang kau
kumenangkan.”
“Jadi? Jadi?”
“Ya. Kau boleh tidur bersama Srintil sekarang. Tetapi waktu terbatas sampai Sulam tersadar. Tahu?”
“Ya, ya. Aku sudah tahu.”
Terdengar suara derit ketika Dower menutup pintu bilik yang berisi tempat tidur berkelambu itu. Sepi.
Suami-istri Kartareja masuk ke bilik mereka sendiri. Di sana pasangan tua itu bergurau. Sebuah ringgit
emas, dua rupiah perak dan seekor kerbau sudah hampir di tangan./bp/
***
Siapa yang akan menyalahkan Kartareja bila dukun ronggeng itu merasa telah menang secara gemilang.
Siapa pula yang akan menyalahkan Dower bila dia kelak berteriak-teriak bahwa dirinyalah yang telah
mewisuda ronggeng Srintil. Sesuatu telah terjadi di belakang rumah Kartareja sebelum Dower menyiapkan
kelambu yang mengurung Srintil. Hanya aku dan ronggeng itu yang mengetahui segalanya.
Waktu itu aku masih mengintip di emper samping ketika terdengar pertengkaran mulut antara Dower dan
Sulam. Sesaat kemudian aku melihat seseorang keluar dari pintu belakang lalu jongkok di bawah pohon
pisang. Dari sosok tubuhnya yang kecil aku memastikan Srintil-lah yang keluar. Dengan berjalan berjingkat
kudekati dia.
“Srintil?” tegurku dengan suara berbisik. “Jangan terkejut. Aku Rasus.”
“Oh!” seru Srintil tertahan. Dia cepat bangkit merangkulku sekuat tenaga. “Rasus. Dengar, mereka
bertengkar di luar. Aku takut, sangat takut. Aku ingin kencing!”
“Sudah kencing?”
“Sudah. Tetapi aku takut. Rasus, kau sungguh baik. Kau ada di sini ketika aku sedang diperjual-belikan.”
“Ya.”
Masih merangkulku kuat-kuat Srintil mengisak. Kubiarkan dia karena aku pun tak tahu apa yang harus
kuperbuat. Kurasakan tubuh Srintil hangat dan gemetar.
“Aku benci, benci. Lebih baik kuberikan padamu. Rasus, sekarang kau tak boleh menolak seperti
kaulakukan tadi siang. Di sini bukan pekuburan. Kita takkan kena kutuk. Kau mau, bukan?”
Sepatahpun aku tak bisa menjawab. Kerongkonganku terasa tersekat. Karena gelap aku tak dapat melihat
dengan jelas. Namun aku merasakan Srintil melepaskan rangkulan, kemudian sibuk melepaskan pakaian.
Tidak beda dengan pengalaman tadi siang di pekuburan Dukuh Paruk. Hanya ini segalanya berlaku dalam
gelap. Aku tidak dapat melihat sosok tubuh Srintil dengan jelas, meski aku yakin saat itu dia sudah
telanjang bulat.
Aku percaya, suasana gelap dapat mengubah nilai yang berlaku pada pribadi-pribadi. Orang berpikir lebih
primitif dalam suasana tanpa cahaya. Dan sebuah perilaku primitif memang terjadi kemudian antara aku
dan Srintil. Ilusi akan hadirnya Emak saat itu tak muncul di hatiku. Segalanya terjadi. Alam sendiri yang
turun tangan mengguruiku dan Srintil. Boleh jadi Srintil merasakan sesuatu yang menyenangkan. Tetapi
entahlah, karena aku hanya merasa telah memperoleh sebuah pengalaman yang aneh.
Tidak lama. Kubantu Srintil mengenakan kembali pakaiannya. Kemudian dia kuantar sampai ke pintu.
Dengan mengintip lewat celah dinding dapat kulihat Srintil membuka klambu dan rebah tertidur di sana.
Aku sendiri pulang dengan berbagai perasaan bercampur-aduk di hati.
Kelak Srintil berceritera kepadaku bahwa dia segera terjaga kembali ketika Dower membangunkannya
dengan dengus napas lembu jantan. Srintil tidak mengatakan apa yang dialaminya kemudian sebagai suatu
perkosaan. Dia hanya berkata, sungguh tidak mudah menempuh syarat menjadi seorang ronggeng di Dukuh
Paruk.
Setelah Dower keluar Srintil mendengar Nyai Kartareja berkata kepada pemuda Pecikalan itu.
“Kau telah memperoleh hadiah sayembara bukak-klambu. Dua rupiah perak serta kerbau itu sah menjadi
milik kami. Engkau puas, bukan?”
Dower hanya tersenyum. Tercapai sudah keinginannya memperoleh sebutan sebagai pemuda yang
mewisuda ronggeng Srintil. Virgin atau tidak virgin ronggeng yang ditidurinya, menjadi naif Dower.
“Nek, aku mau pulang sekarang,” katanya kemudian.
“Pulang? Nanti dulu!” jawab Nyai Kartareja. “Bila nanti Sulam terjaga dan tidak melihatmu lagi di sini, dia
akan merasa curiga. Tahu?”
“Ya. Oh rupanya kalian pasangan tua bangka yang licik dan tengik. Baiklah, aku mau tidur di sini. Aku pun
telah lelah dan ngantuk.”
Suasana di rumah Kartareja sunyi kembali meskipun suami-istri dukun ronggeng itu tidak tidur. Srintil
sendiri terbaring gelisah. Pelupuh lincak berderit-derit karena Dower belum dapat memejamkan mata.
Tetapi tak berapa lama kemudian segalanya diam. Dower yang lelah dan lemas segera pulas.
Tengah malam Nyai Kartareja masuk ke bilik Srintil. Kelambu dibuka. Dengan sinar pelita di tangannya
perempuan itu melihat mata Srintil yang masih terbuka. Dengan gaya memanjakan, Nyai Kartareja
membelai rambut Srintil.
"Dua keping rupiah perak dan seekor kerbau besar telah menjadi milikmu. Kau sudah menjadi anak yang
kaya. Engkau merasa senang, bukan?” Srintil mengangguk walaupun perutnya terasa sakit.
“Dan engkau masih akan menerima sebuah ringgit emas. Mau, bukan? Nanti bila Sulam terjaga, dia akan
masuk kemari.”
Mata Srintil terbuka lebar-lebar. Suaranya serak ketika dia bertanya kepada Nyai Kartareja.
“Jadi aku harus melayani Sulam pula?”
“Tak mengapa, bukan? Engkau akan menjadi satu-satunya anak yang memiliki ringgit emas di Dukuh Paruk
ini.”
“Tetapi perutku sakit, Nek. Amat sakit.”
“Aku pernah mengalami hal seperti itu. Bocah ayu, percayalah padaku. Semuanya tak mengapa
kaulakukan. Ingat, sebuah ringgit emas! Istirahatlah sekarang selagi Sulam masih mendengkur.”
Srintil mengisak seorang diri. Baginya alangkah lambat waktu berjalan. Dia ingin hari segera menjelang
pagi. Dia ingin segera menemukan dirinya telah selesai menjalankan bukak-klambu. Tak terpikirkan lagi
soal ringgit emas atau lainnya. Yang dirasakannya sekarang adalah perutnya yang bagai teriris-iris.
Ronggeng itu tak akan menghentikan tangis karena binatang jantan lainnya akan segera datang
menyingkap kelambu dan mendengus.
Di luar gerimis turun. Sesungguhnya Srintil hampir terlena bila tidak mendengar derit lincak di beranda.
Sulam menggeliat lalu melenguh. Semula Sulam akan kembali memejamkan mata. Tetapi tiba-tiba mata
pemuda itu terbuka selebar-lebarnya, lalu bangkit. Dia duduk termangu seperti orang sedang bingung.
Nyai Kartareja keluar dari biliknya, melangkah mendekati Sulam.
“Oh, bocah bagus. Engkau sudah bangun?” tanya Nyai Kartareja semanis seorang ibu.
“Jam berapa sekarang, Nek?” kata Sulam sambil menggosok mata dengan punggung tangan.
“Ah, masih sore,” tipu perempuan itu pula.
Ketika Sulam sadar betul apa tujuannya datang ke Dukuh Paruk, dia berkata sambil bangkit berdiri.
“Jadi bagaimana ini. Bagaimana urusan tadi?”
“Oh tenanglah, Bocah bagus. Lihat, anak Pecikalan itu masih tertidur nyenyak. Engkau jadi pemenang.
Srintil menunggumu sekarang.”
“Ha? Di mana Srintil?” tanya Sulam bersemangat.
“Lho! Dia di dalam kelambu. Ayo, cepat. Jangan menunggu Dower terbangun.”
“Oh ya. Ya. Tetapi nanti dulu, Nek. Aku ingin kencing.”
Entah sampai kapan pemukiman sempit dan terpencil itu bernama Dukuh Paruk. Kemelaratannya,
keterbelakangannya, penghuninya yang kurus dan sakit serta sumpah-serapah cabul menjadi bagiannya
yang sah. Keramat Ki Secamenggala pada puncak bukit kecil di tengah Dukuh Paruk seakan menjadi
pengawal abadi atas segala kekurangan di sana. Dukuh Paruk yang dikelilingi amparan sawah berbatas kaki
langit, tak seorang pun penduduknya memiliki lumbung padi meski yang paling kecil sekali pun. Dukuh
Paruk yang karena kebodohannya tak pernah menolak nasib yang diberikan alam.
Yang Mahaperkasa mencipta diriku dari intisari tanah Dukuh Paruk. Ketika aku mulai mengerti bahwa
diriku hidup, di dekatku ada seorang nenek, sebuah kandang berisi tiga ekor kambing dan sekeranjang
gaplek di sudut rumah kecil. Anak-anak sebaya memanggil perempuan yang terdekat dengan sebutan
emak. Tetapi perempuan tua yang paling dekat denganku menolak bila kusebut demikian. “Panggil aku
nenek,” katanya. Pernyataan itu adalah tanda-tanya besar pertama yang menindih hatiku. Untung, di
Dukuh Paruk ada sekian belas anak yang seperti aku. Warta dan Darsun bahkan aku kemudian tahu pula,
Srintil juga tidak mempunyai emak. Ayah juga tak pernah kulihat sejak aku lahir. Tetapi aku tidak begitu
merisaukannya. Jangan salahkan diriku karena aku tak tahu mengapa terjadi perasaan demikian.
Ceritera tentang malapetaka tempe bongkrek itu mulai terekam di hatiku sejak usiaku lima atau enam
tahun. Nenek dan orang-orang lainnya berceritera sebagian-sebagian, sehingga bila kusambung akan
tersusun kisah sebuah peristiwa kematian massal secara lengkap. Termasuk di dalamnya keterangan yang
sepotong-sepotong tentang Emak. Ah, aku takkan mengulanginya lagi. Keterangan tentang Emak hanya
berbekas sebagai deraan batin yang berkepanjangan.
Dalam hatiku ada sebuah sisi yang kosong. Seharusnya ada Emak di sana. Aku yang mengharuskannya
demikian, namun tidak pernah menjadi kenyataan. Kekosongan yang berkembang bersama pertumbuhanku
sejak masa kanak-kanak, menciptakan kegersangan dan kegelisahan. Kehausan melihat serta memiliki
Emak telah membuat noda dalam hidupku.
Tetapi Dukuh Paruk dan orang-orangnya di sana tak ada yang mengerti diriku yang sakit. Memang Dukuh
Paruk memberi kesempatan kepadaku mengisi bagian hati yang kosong dengan seorang perawan kecil
bernama Srintil. Tidak lama, sebab sejak peristiwa malam bukak-klambu itu Srintil diseret ke luar dari
dalam hatiku, Dukuh Paruk bertindak semena-mena kepadaku. Aku bersumpah takkan memaafkannya.
Jadi ketika Dukuh Paruk bergembira-ria dengan suara calung dan joget Srintil yang telah resmi menjadi
ronggeng, aku malah mulai membencinya. Pengikat yang membuatku mencintai Dukuh Paruk telah
direnggut kembali. Aku tidak lagi mempunyai cermin tempat aku mencari bayang-bayang Emak. Sakitku
terasa lebih perih daripada saat aku belum mengenal Srintil.
Salah seekor kambing kutuntun ke luar Dukuh Paruk pada suatu pagi. Sebelum berangkat aku berkata
kepada Nenek, aku akan mencari paman di luar kampung dan mungkin tidak kembali lagi. Nenek
menangis. Terbata-bata Nenek meminta agar aku tetap tinggal. “Siapa yang akan mengurusiku bila aku
sakit dan mati,” katanya.
Nenek menjadi korban balas dendamku terhadap Dukuh Paruk. Dia kutinggalkan bersama beberapa ekor
kambing. Biarlah. Nenek adalah milik Dukuh Paruk. Kukira Dukuh Paruk tetap mengakui Nenek sebagai
warga sampai dia bergabung dengan Ki Secamenggala di pekuburan.
Kambing kujual di pasar. Dengan uang penjualan itu aku hidup beberapa hari di warung-warung.
Perpindahanku dari warung satu ke warung lainnya terjadi bila kudengar seorang pengunjung berceritera
tentang malam bukak-klambu yang baru diselenggarakan di Dukuh Paruk.
Perkenalanku dengan pedagang singkong di pasar memungkinkan aku mendapat upah. Di Dukuh Paruk
setiap anak berkenalan dengan singkong sejak lahir. Maka pedagang itu terkesan betapa cepat aku
mengupasi barang dagangannya. Selain mendapat upah buat makan sehari-hari, aku menemukan sebuah
tempat yang teduh untuk menggelar karung-karung. Itulah tempat tidur yang kupakai selama
berbulan-bulan.
Dawuan, tempatku menyingkir dari Dukuh Paruk, terletak di sebelah kota kecamatan. Akan terbukti nanti,
pasar Dawuan merupakan tempat melarikan diri yang tepat. Di sana aku dapat melihat kehadiran
orang-orang dari perkampungan dalam wilayah kecamatan itu. Tak terkecuali orang-orang dari Dukuh
Paruk. Pasar Dawuan menjadi tempat kabar merambat dari mulut ke telinga, dari telinga ke mulut dan
seterusnya. Berita yang terjadi di pelosok yang paling terpencil bisa didengar di pasar itu.
Jadi aku seperti masih tinggal di Dukuh Paruk laiknya.
Aku mendengar segala hal yang terjadi di pedukuhan itu, tanpa kehadiranku di sana. Dukuh Paruk telah
menemukan kembali keasliannya, dengan munculnya kelompok ronggeng di bawah asuhan dukunnya yang
terkenal, Kartareja. Keinginan Sakarya maupun Kartareja agar Srintil menjadi ronggeng tenar, telah
terlaksana. Boleh jadi benar kata kedua orang tua itu, keris kecil yang kuberikan kepada Srintil ikut andil
dalam ketenaran Srintil. Entahlah.
Di pasar Dawuan pula suatu kali aku dapat melihat Srintil yang datang berbelanja dengan Nyai Kartareja.
Sebelum ronggeng itu mendekat aku telah tahu kehadirannya dari celoteh orang-orang di pasar itu.
“Itu dia, ronggeng Dukuh Paruk. Srintil memang cantik.”
“He! Betulkah di Dukuh Paruk ada gadis dengan kulit bersih, betis montok tanpa kurap?”
“Srintil itulah buktinya. Wah, alangkah cepat besar dia.”
“Ah, jangan bodoh. Bau keringat laki-laki membuat setiap anak perempuan menjadi cepat dewasa.”
“Lihat. Baru beberapa bulan menjadi ronggeng sudah ada gelang emas di tangan Srintil. Bandul kalungnya
sebuah ringgit emas pula,” kata seorang perempuan penjual sirih.
“Kau sudah tahu dari mana ronggeng itu memperoleh bandul kalung seberat dua puluh lima gram. Tetapi
kau pasti belum tahu siapa yang memberi Srintil sebuah kalung,” ujar perempuan lainnya.
“Dari lurah Pecikalan yang menggendaknya?”
“Salah. Lurah Pecikalan telah mengganti atap ilalang rumah Sakarya dengan seng. Dia tidak memberi
kalung kepada ronggeng itu.”
“Jadi siapa?”
“Le Hian! Itu Cina yang mempunyai kilang ciu tersembunyi di tengah kebun pisang. Lihatlah, sebentar lagi
Srintil akan memakai subang berlian. Atau akan memakai gelang rangkap.”
“Ah, kau seperti tahu segala urusannya?”
“Mengapa tidak. Ada seorang siren wedana sedang menggendaknya. Bahkan kudengar istri siten itu sudah
menuntut cerai kepada suaminya.”
“Alangkah ampuh pekasih suami-istri Kartareja. Engkau harus mempercayainya sekarang,” ujar tukang
sirih itu pula.
“Ah, tanpa pekasih pun orang akan senang tidur bersama Srintil. Maka aku bisa memahami bila Sulam rela
kehilangan sebuah ringgit emas untuk memperoleh keperawanan ronggeng itu,” kata orang laki-laki
penjual tikar dari tempatnya.
Aku terperanjat mendengar kata-kata lelaki itu. Orang lain mengatakan Sulam-lah orangnya yang
mewisuda Srintil. Aku yakin pula Dower dengan caranya sendiri menyatakan sebagai orang pertama yang
tidur bersama ronggeng Dukuh Paruk. Rupanya rahasia belum lagi bocor; hanya aku berdua Srintil yang
mengetahui segalanya. Tetapi kejadian di belakang rumah Kartareja itu tidak memberiku kesan yang
indah. Aku melakukannya sebagai tindakan spontanitas belaka.
Srintil sudah memasuki arena pasar.
Aku bersembunyi di balik onggokan singkong dan karung-karung. Semua pedagang di pasar memperlakukan
Srintil sebagai orang istimewa. Penjual pakaian menawarkan baju merah saga dengan harga luar biasa
tinggi. Kalau tidak dicegah oleh pengiringnya, Nyai Kartareja, Srintil akan membayarnya. Tanpa menawar.
Penjual benda manik-manik mengangkat dagangannya. Sebuah cermin ditawarkannya kepada Srintil. Kali
ini Nyai Kartareja tidak menghalangi ronggeng itu membeli kaca itu bersama beberapa bungkus pupur dan
minyak wangi.
Seorang perempuan tua berlari-lari dari arah belakang. Kepada Srintil disodorkannya sehelai kutang.
“Aduh, wong ayu. Pakai kutang ini. Dadamu sudah kelihatan montok.”
“Berapa harganya, Nek?” tanya Srintil.
“Aku tak ingin berjualan kepadamu. Silakan pakai. Aku setiap saat berdiri di pinggir arena bila kau sedang
menari. Engkau pasti tidak tahu, bukan?”
Srintil membalasnya dengan tawa yang manja. Dipilihnya sebuah kutang berwarna kuning menyolok, lalu
diberikannya kepada Nyai Kartareja untuk dibawa. Bukan hanya penjual kutang itu yang memberikan
dagangannya dengan cuma-cuma kepada Srintil. Masih banyak lagi. Seorang perempuan penjual buah
memberikan mangga-mangga yang masak dengan pengantar, “untuk penyegar bagimu yang terlalu banyak
melek di malam hari.” Tukang jamu cepat-cepat meramu dagangannya. “Supaya otot-ototmu tetap
kenyal. Laki-laki memang kurang ajar. Dia membenci apa-apa yang kendur!”
Bila para perempuan kelihatan tulus ikhlas memanjakan Srintil, tidak demikian dengan para lelaki. Pak
Simbar, penjual sabun di pasar Dawuan berkata dengan mata bersinar-sinar kepada Srintil. “Eh, wong
kenes, wong kewes. Aku tahu di Dukuh Paruk orang menggosok-gosokkan batu ke badan bila sedang
mandi. Tetapi engkau tak pantas melakukannya. Mandilah dengan sabun mandiku. Tak usah bayar bila
malam nanti kaubukakan pintu bilikmu bagiku. Nah, kemarilah.” Berkata demikian, tangan Pak Simbar
menjulur ke arah pinggul Srintil. Aku melihat dengan pasti, Srintil tidak menepiskan tangan laki-laki itu.
Bangsat!
Babah Pincang yang duduk hampir tenggelam di tengah dagangannya ikut berbicara. Juga dengan wajah
beringas dan mata berkilat.
“Nah. Aku punya sandal kulit. Mulah. Balang baik. Na, kamu olang tida pantas beltelanjang kaki. Betismu
bagus. Bayal sandalku. Nanti aku juga mau bayal kalau aku tidul di Dukuh Paluk.”
Seperti juga Pak Simbar, Babah Pincang juga gatal tangan. Bukan pinggul Srintil yang digamitnya,
melainkan pipinya. Kali ini pun Srintil tak berusaha menolak. Bangsat lagi!
Onggokan singkong dan karung-karung tetap menyembunyikan diriku dari pandangan Srintil sampai
ronggeng itu keluar dari pasar. Di belakangnya, Nyai Kartareja membawa keranjang yang sarat dengan
barang belanjaan. Mata semua laki-laki memandang ke sana: ke pinggul atau betis Srintil. Atau
tengkuknya yang putih di bawah rambut hitam yang tersanggul halus. Seruan cabul terdengar dari
sudut-sudut pasat Dawuan. Terkadang Srintil menoleh ke belakang dengan lirikan yang mengundang
birahi. Sementara para perempuan bergumam sambil berpura-pura sibuk dengan dagangan masing-masing.
Terdengar bunyi lonceng sado dan derap kaki kuda. Srintil bersama Nyai Kartareja meninggalkan pasar
Dawuan. Sado akan mengantarkan mereka sampai ke ujung pematang. Srintil dan pengiringnya akan
berjalan di atas pematang itu sampai ke Dukuh Paruk. Selama setengah jam keduanya akan disiram terik
matahari tanpa sebatang pohon pun meneduhi.
Di sarangku di balik onggokan singkong itu, aku masih mengenangkan Srintil. Bukan dalam kenangan yang
utuh dan melambung indah, melainkan dalam gambaran yang mulai pudar. Srintil telah menjadi dirinya
sendiri, dalam kedaulatan yang sulit kugugat. Dia dengan sadar dan bangga menjadi ronggeng dan sundal,
dua predikat yang tiada beda. Aku tahu betul Srintil berhak mencari sebutan apa pun yang dia sukai.
Apalagi Dukuh Paruk akan hambar tanpa calung dan ronggeng.
Memang dengan penampilan Srintil yang sekarang, aku mulai mendapat kesulitan memperoleh secuil
gambaran Emak pada dirinya. Emak memang perempuan Dukuh Paruk. Sekali pun aku tak pernah
membayangkan Emak bukan menjadi bagian pedukuhan terpencil itu. Jadi Emak, seperti para perempuan
Dukuh Paruk, tidak mengharamkan persundalan. Dia, meski hanya hidup dalam angan-anganku, bukan
perempuan suci seperti yang kelak kubaca dalam buku-buku dongeng. Tetapi demi rahim yang pernah
membungkusku, aku tak tega membayangkan Emak sebagai perempuan yang selalu ramah terhadap semua
laki-laki. Yang tak pernah menepis tangan laki-laki yang menggerayanginya. Tidak. Betapapun aku tak
mampu berkhayal demikian.
Pasar Dawuan sedikit demi sedikit merenggangkan hubunganku dengan Srintil. Bukan hanya dalam arti
lahir, terlebih-lebih dalam arti batiniah. Pasar Dawuan juga ternyata memberikan cakrawala luas padaku
tentang banyak hal. Dulu, dunia bagiku adalah Dukuh Paruk dengan sumpah serapahnya, dengan
kemelaratannya dan dengan kecabulannya yang sah. Sampai hari-hari pertama aku menghuni pasar
Dawuan, aku menganggap nilai-nilai yang kubawa dari Dukuh Paruk secara umum berlaku pula di semua
tempat.
Ternyata tidak demikian. Pengalamanku dengan Siti akan membuktikannya. Lebih dari itu, karena Siti
secara tidak langsung mengajariku bahwa dunia perempuan takkan terwakili oleh Srintil seorang.
Siti, seorang gadis seusia Srintil. Setiap pagi dia membeli singkong di pasar Dawuan. Ibunya menjadi
penjual berjenis-jenis makanan yang terbuat dari umbi akar tersebut. Ibu Siti tidak berjualan di pasar itu.
Tetapi di pasar Dawuan, orang dengan mudah mendapat segala macam keterangan. Demikian, maka aku
tahu banyak tentang Siti dan ibunya.
Karena setiap pagi aku melayani Siti, maka aku mulai menyenanginya. Sikapnya yang malu-malu dan
hampir menutup diri sering merangsang diriku untuk menggodanya. Sekali waktu aku tak berhasil
mencegah tanganku yang lancang. Kerudung yang selalu menutupi kepala Siti kusingkapkan. Putih pipinya
dan keindahan tengkuknya tak bertirai lagi. Tak ayal tanganku bergerak mencubit pipi putih itu.
Sedikit pun aku tak merasa bersalah berbuat demikian. Dukuh Paruk sepanjang usiaku mengatakan perkara
mencubit pipi sama sekali tidak tabu, apalagi dosa. Kata ‘dosa’ sendiri baru kudengar setelah aku
meninggalkan Dukuh Paruk. Tetapi karena kelancangan tangan itu aku mendapat pengalaman baru yang
getir. Setelah kucubit pipinya, Siti membeliakkan mata. Pipinya merah rona. Gadis itu terpaku sejenak
dengan tatapan mata menghunjam jantungku. Mula-mula aku senang karena dengan pipi merah itu Siti
bertambah cantik. Namun aku jadi terkejut ketika Siti berlari dengan melemparkan singkong yang telah
dibelinya.
Kejadian itu memancing tawa orang-orang di sekelilingku. Aku terpaku karena heran dan terkejut. Hanya
mencubit pipi. Apa yang luar biasa dalam perilaku sepele itu? Bukankah di Dukuh Paruk aku sudah
mencium pipi Srintil dan dia sama sekali tidak marah, bahkan tertawa manja?
“He, jangan samakan Siti dengan gadis-gadis Dukuh Paruk. Dia marah karena menganggap kau
memperlakukannya secara tidak senonoh,” kata seseorang, entah siapa karena aku tak berani mengangkat
muka.
“Lihat-lihatlah bila hendak menggoda seorang gadis, Rasus!” kata seorang lainnya. “Di sini memang pasar.
Perempuan yang datang berbelanja kemari tidak semua berasal dari Dukuh Paruk. Seorang sundal pun,
bila dia bukan perempuan Dukuh Paruk, akan marah bila tersentuh pipinya di depan orang banyak. Meski
hanya berpura-pura, namun demikianiah adanya.”
Masih banyak celoteh lain yang kudengar. Tetapi aku tak bisa memperhatikan semuanya. Aku sedang
terlanda masuknya nilai baru ke dalam hati, bahwa soal mencubit pipi di luar Dukuh Paruk bisa
mendatangkan urusan. Lain benar keadaannya dengan Dukuh Paruk. Di sana, seorang suami misalnya,
tidak perlu berkelahi bila suatu saat menangkap basah istrinya sedang tidur bersama laki-laki tetangga.
Suami tersebut telah tahu cara bertindak yang lebih praktis; mendatangi istri tetangga itu dan
menidurinya. Habis segala urusan! Tanah airku yang kecil itu hanya mengajarkan pengertian moral tanpa
tetek-bengek. Buktinya, siapa anak siapa tidak pernah menjadi nilai yang kaku dan pasti, oleh karenanya
tidak pernah menimbulkan urusan. Di sana, di Dukuh Paruk, aku juga tahu ada obat bagi
perempuan-perempuan mandul. Obat itu bernama lingga; kependekan dua kata - yang berarti penis
tetangga. Dan obat itu, demi arwah Ki Secamenggala, bukan barang tabu apalagi aneh. Tetapi mengapa
hanya karena aku mencubit pipi Siti, orang-orang menertawakanku?
Ah. Biarlah, bagaimana juga aku yang harus mengalah, dengan mulai belajar menerima kenyataan, bahwa
di luar tanah airku yang kecil berlaku nilai-nilai yang lain. Banyak sekali. Misalnya kata umpatan “asu
buntung”, yang bisa didengar setiap menit di Dukuh Paruk tanpa akibat apa pun, merupakan kata
penghinaan paling nista di luar pedukuhan itu.
Pengalaman malam hari dengan perempuan-perempuan pasar Dawuan juga memperluas cakrawalaku.
Gadis-gadis warung di sekeliling pasar Dawuan kebanyakan senang bergurau dengan para lelaki. Ulahnya
tidak jauh berbeda dengan perempuan Dukuh Paruk. Beberapa di antaranya mau menerima uangku dan
tidak berkeberatan kubawa pergi.
Tokh tidak semuanya demikian. Yang tercantik di antara mereka selalu menutup diri di samping ayahnya.
Dia bersembahyang, sesuatu yang baru kulihat di luar Dukuh Paruk. Gadis-gadis lain berbisik kepadaku
agar jangan mencoba menggoda si alim itu. Kata mereka, hanya laki-laki bersembahyang pula bisa
berharap pada suatu saat bisa menjamahnya. Itu pun bila telah terjadi ikatan perkawinan yang sah.
Pelanggaran atas ketentuan itu adalah dosa besar. Nah, Rasus dari Dukuh Paruk belum mampu memahami
semuanya. Perkawinan yang sah, dosa besar, merupakan ungkapan yang baru kudengar. Terserah pada
sejarahku nanti apakah aku bisa menghayati pengertian itu atau aku akan tetap didikte oleh nilai-nilai
yang kukenal sejak di Dukuh Paruk.
Makin lama tinggal di luar tanah airku yang kecil, aku makin mampu menilai kehidupan di pedukuhan itu
secara kritis. Kemelaratan di sana terpelihara secara lestari karena kebodohan dan kemalasan
penghuninya. Mereka hanya puas menjadi buruh tani. Atau berladang singkong kecil-kecilan. Bila ada
sedikit panen, minuman keras memasuki setiap pintu rumah. Suara calung dan tembang ronggeng
menina-bobokkan Dukuh Paruk. Maka benar kata Sakarya, bagi orang Dukuh Paruk kehidupan tanpa calung
dan ronggeng terasa hambar. Calung dan ronggeng pula yang memberi kesempatan mereka bertayub dan
minum ciu sepuas-puasnya.
Pengenalanku atas dunia perempuan di luar Srintil juga membawa perubahan. Kedudukannya sebagai idola
serta cermin di mana aku mencari bayangan Emak lama-lama surut dan akhirnya lenyap sama sekali.
Sosok Emak yang kulukis dalam angan-angan selama bertahun-tahun, dengan berat hati harus
kumusnahkan. Dulu aku begitu yakin Emak mempunyai cambang halus di pipi seperti Srintil. Atau lesung
pipit di pipi kiri. Suaranya lembut dan sejuk dengan senyum yang menawarkan duka seorang anak yang
selalu merindukannya. Kulitnya putih, dadanya subur di mana selama dua tahun aku bergantung menetek
dan bermanja.
Sungguh. Meski berat sekalipun gambaran tentang diri Emak harus kuhancurkan dan menggantikannya
dengan citra yang lain. Maka dalam pikiranku sudah kunyalakan api pada setumpuk kayu bakar.
Kubayangkan seorang perempuan kulemparkan dengan tanganku sendiri ke atas kobaran api itu.
Perempuan yang mempunyai segala gambaran keagungan itu hangus dan lenyap dimakan api.
Sebagai gantinya muncul perempuan lain dengan ciri-ciri khas Dukuh Paruk. Rambut kusut dengan ujung
kemerahan. Wajah lesu dan pucat karena sehari-hari tidak cukup makan. Sepasang tetek dengan puting
hitam, hanya subur pada waktu panen. Sepasang telapak kaki yang lebar dengan endapan daki
melapisinya. Kata-katanya kasar dengan selingan serapah cabul. Itulah gambar seorang perempuan Dukuh
Paruk, gambaran yang lebih masuk akal. Aku harus mulai belajar menerima kenyataan bahwa sebagai
perempuan Dukuh Paruk Emak memiliki ciri-ciri seperti itu pula. Seorang mantri yang mau membawa lari
perempuan seperti itu pastilah ada kelainan pada dirinya. Kalau tidak sinting pastilah dia seorang laki-laki
bajul buntung!
Nah, aku sudah mulai mempunyai gambaran seorang emak. Meski buruk, tetapi bayangannya mudah
kuperoleh pada hampir semua perempuan Dukuh Paruk. Atau semua perempuan yang berbelanja atau
berjualan di pasar Dawuan. Memang, Srintil tetap tak bisa kulupakan. Kenangan bersamanya karena aku
mengenalnya sejak masa kanak-kanak, tidak mungkin hilang dengan mudah. Tetapi kedudukannya dalam
jiwaku, sedikit demi sedikit bergeser ke tempat yang lebih wajar. Boleh jadi kelak pada suatu saat aku
merindukannya, kemudian mencarinya atas panggilan birahi. Siapa tahu pada suatu saat ada uang dalam
jumlah cukup dalam sakuku. Tidak pernah kudengar seorang ronggeng menolak kehendak laki-laki yang
akan memberinya uang, apalagi dalam jumlah banyak.
Bagaimana aku telah berhasil mendudukkan Srintil dalam kehidupanku secara semestinya terbukti ketika
beberapa bulan kemudian aku bertemu kembali di pasar Dawuan. Sikap orang-orang pasar masih biasa.
Ronggeng memang seorang perempuan milik umum terutama bagi laki-laki. Bila Pak Simbar atau Babah
Pincang berani menggoda Srintil mengapa aku tidak. Aku tidak malu diketahui oleh Srintil sebagai penjaga
singkong milik orang lain. Tangan dan bajuku kotor. Di pasar aku tidak pernah mandi kecuali kalau aku
sedang tidak malas pergi ke sungai.
Maka ketika orang-orang menyambut kedatangan ronggeng Dukuh Paruk itu, aku pun mendekat. Tanpa
canggung sedikit pun Srintil kubimbing ke tempat yang lebih longgar. Tak kupedulikan seruan maupun
tatapan orang orang sekeliling.
“Kau tidak lupa padaku, Srin?”
“Heh! Tentu kau masih bernama Rasus.”
“Kau juga tidak lupa kejadian pada suatu malam di belakang rumah Kartareja?”
“Jangkrik! Jangan keras-keras. Ya, aku tak melupakan ulahmu yang tolol dan konyol itu.”
“He-he. Tetapi aku ingin mengulanginya.”
“Kampret, jangan keras-keras. Atau kalau kau ingin membual banyak-banyak, mari kita beli cendol. Di
warung itu kelihatan sepi.”
“Nah, ayolah. Bersama seorang ronggeng, perut akan terjamin bukan?”
“Sudahlah. Kau jangan nyinyir seperti Nyai Kartareja.”
Beberapa orang berseru macam-macam ketika melihat aku menggandeng Srintil ke luar pasar menuju
warung cendol. Semua tidak kuambil peduli. Apalagi Srintil sendiri yang membungkam mulut-mulut usil
itu.
“Kalian orang-orang pasar, jangan iri hati. Rasus adalah teman lama dari Dukuh Paruk. Atau bila kalian
tetap merasa iri, tunggulah di sini. Nanti kalian akan mendapat giliran.”
Srintil pernah menyerahkan diri kepadaku di tempat gelap di belakang rumah Kartareja. Bagiku kejadian
itu hampir tak berkesan. Karena waktu itu Srintil bukan hanya sekedar seorang ronggeng. Lagipula waktu
itu kuanggap penyerahan Srintil sebagai imbalan penyerahan keris kecil yang kulakukan kepadanya.
Di warung cendol itu terbukti pengertianku salah. Dari cara Srintil berbicara, dari caranya duduk di
sampingku dan dari sorot matanya, aku tahu Srintil mencatat kejadian di belakang rumah Kartareja itu
secara khusus dalam hatinya. Maka aku terpaksa percaya akan kata-kata orang bahwa peristiwa
penyerahan virginitas oleh seorang gadis tidak akan dilupakannya sepanjang usia. Juga aku jadi percaya
akan kata-kata yang pernah kudengar bahwa betapapun ronggeng adalah seorang perempuan. Dia
mengharapkan seorang kecintaan. Laki-laki yang datang tidak perlu mengeluarkan uang bila dia menjadi
kecintaan sang ronggeng.
“Rasus, kau menghilang dari Dukuh Paruk sejak kejadian malam hari di belakang rumah Kartareja.
Jangkrik! Aku sungguh tak mengerti mengapa kau bertindak demikian.”
Jika Srintil mengajukan pertanyaan seperti itu beberapa bulan yang lalu, aku akan sulit mencari
jawabnya. Kalaupun aku menemukannya, pastilah muluk, karena aku masih menghubungkan Emak dengan
diri Srintil. Tetapi di warung cendol itu mulutku dengan lancar memberikan jawaban kepada Srintil.
“Karena engkau telah sah menjadi ronggeng. Selamanya aku tak ingin bertemu lagi denganmu kecuali aku
mempunyai uang.”
“Jadi begitukah rupanya, Rasus?”
“Ya, mengapa?”
“Apakah waktu itu aku juga minta uang kepadamu?”
Srintil menundukkan kepala ketika mengucapkan kata-kata itu. Sebelum aku bisa membuka mulut, Srintil
bangkit meninggalkanku. Aku terpana dan hanya mampu melihat dia mengangkat keranjang belanjaannya
ke atas sado. Ketika sais membunyikan cambuk buat melarikan kuda, hatiku yang terlecut.
Aneh, ternyata selama setahun penuh aku belum juga menginjakkan kaki ke Dukuh Paruk. Bagiku, bila
mendengar Nenek masih mengiris-iris singkong untuk dibuat gaplek serta pergi ke tanah kosong buat
menggembala kambing, itu sudah cukup. Pasar Dawuan selama satu tahun itu sekali-sekali menjadi
tempat pertemuanku dengan Srintil. Terkadang Srintil mengajakku ke sebuah rumah tidak jauh dari pasar
Dawuan. Meskipun Srintil selalu marah bila disebut sundal, tetapi dia tahu betul setiap rumah yang bisa
disewa untuk perbuatan cabul. Dia membuktikan kata-katanya bahwa dariku dia tidak mengharapkan
uang. Bahkan suatu ketika dia mulai berceloteh tentang bayi, tentang perkawinan.
Lucu.
Seorang ronggeng berceloteh tentang perkawinan, tentang seorang bayi. Sebagai anak Dukuh Paruk sejati,
aku langsung bisa mencurigainya. Aku tahu benar perkawinan di Dukuh Paruk bukan barang muluk, apalagi
kudus, maka para perempuan di sana tak perlu memujanya. Perkawinan dalam urusannya dengan
kepentingan hayati bisa didapat dengan mudah, apalagi bagi Srilitil yang cantik. Bila Srintil menginginkan
seorang bayi, mengapa dia cemas? Bukankah berpuluh lelaki telah menabur benih?
Orang-orang di luar Dukuh Paruk tidak mengerti di mana letak persoalannya. Betapapun perempuan Dukuh
Paruk hidup dalam dunianya yang tersendiri, naluri mereka yang ingin beroleh keturunan sama dengan
perempuan-perempuan lain. Mereka membenci kambing-kambing yang tak bisa beranak, apapula terhadap
diri yang mandul. Mereka merasa mengemban amanat suci Ki Secamenggala agar keturunan moyang orang
Dukuh Paruk itu tidak punah termakan malapetaka maupun kemelaratan. Hal ini berarti: bayi. Aku
menduga keras Srintil mulai dihantui kesadaran bahwa Nyai Kartareja telah memijit hingga mati indung
telurnya, peranakannya. Suami-istri dukun ronggeng itu merasa perlu berbuat demikian sebab hukum
Dukuh Paruk mengatakan karir seorang ronggeng terhenti sejak kehamilannya yang pertama. Kukira Srintil
mulai sadar kemandulan adalah hantu mengerikan yang akan menjelang pada hari tua. Atau Srintil telah
mendengar riwayat para ronggeng yang tak pernah mencapai hari tua karena keburu dimakan rajasinga
atau penyakit kotor lainnya.
Entahlah.
Yang jelas celoteh Srintil tentang bayi dan perkawinan hanya kuanggap sebagai ungkapan perasaan secara
emosional, tanpa suatu alasan yang mendukungnya. Lagipula aku merasa rendah diri karena Srintil telah
menjadi ronggeng yang benar-benar kaya. Namun seandainya benar keinginan Srintil memperoleh seorang
bayi terdorong ketakutannya menghadapi hari tua, aku tak bisa berbuat lain kecuali iba. Sangat iba!
Tahun 1960 wilayah kecamatan Dawuan tidak aman. Perampokan dengan kekerasan senjata sering terjadi.
Tidak jarang para perampok membakar rumah korbannya. Aku yang selalu tidur di sudut pasar Dawuan
mulai merasa takut. Mulai terpikir olehku apakah sudah tiba saatnya bagiku kembali ke Dukuh Paruk? Aku
berharap para perampok tidak tertarik pada pedukuhan itu karena letaknya yang berada di tengah sawah.
Menurut perhitunganku, andaikata terjadi perampokan di sana polisi gampang mengepungnya.
Ternyata hingga dua tahun berikutnya aku belum juga datang melihat Dukuh Paruk. Bahkan aku
meninggalkan pasar Dawuan, berpindah dari satu tempat ke tempat lain, bersama sekelompok tentara di
bawah pimpinan Sersan Slamet.
Kelak akan terbukti nasib mengubah kehidupanku secara ajaib. Dimulai pada suatu sore di depan pasar
Dawuan. Pasar begitu sepi. Apalagi perampokan makin hari makin sering terjadi. Sebuah truk penuh
tentara berhenti. Kira-kira dua puluh orang tentara turun, masing-masing dengan topi baja dan bedil.
Banyak anak-anak menyingkir melihat kedatangan para tentara itu. Mereka terutama takut kepada bedil.
Aku sendiri berdiri dan memandang dari jauh di depan gerbang pasar. Kulihat seorang tentara, yang
kemudian kukenal sebagai Sersan Slamet, mencari seseorang untuk membantu menurunkan peti-peti serta
barang-barang lainnya. Dia tidak melihat seorang pun kecuali aku. Jadi lambaian tangannya kemudian
diarahkannya kepadaku.
Tak ada anak Dukuh Paruk yang tidak gemetar menerima panggilan seorang tentara. Aku hampir
melangkah surut bila Sersan Slamet tidak mengulangi lambaiannya. Bahkan kulihat senyumnya yang
kemudian mengurangi ketakutanku.
“Siapa namamu?” tanya Sersan Slamet. Gayanya ramah kebapakan.
“Rasus.”
“Bila tidak sedang sibuk kuminta kau mau membantu kami.”
“Tidak. Aku tidak mempunyai kerja saat ini,” kataku masih dengan rasa takut tersisa di hati.
“Jadi kau mau membantu kami?”
Aku mengangguk.
“Baik Marilah mulai. Angkut peti-peti itu ke rumah sana. Nanti ada upah tersedia bagimu.”
Pekerjaan kumulai. Peti-peti logam serta barang berat lainnya kuangkat di atas pundak dan kubawa ke
sebuah rumah batu yang ternyata telah dipersiapkan sebagai markas tentara. Dari rasa takut lambat laun
berubah menjadi rasa bangga. Seorang anak Dukuh Paruk bekerja dalam kelompok tentara. Meski
pakaianku tidak seragam dengan mereka, tetapi aku berjalan beriring dengan mereka. Bahkan aku sudah
berbicara dengan pemimpin mereka, Sersan Slamet. Aku telah berkenalan dengan seorang tentara.
Karena merasa bangga bekerja dengan sekelompok tentara maka aku mampu mengeluarkan tenaga lebih
dari biasanya. Bila mereka mengangkat peti itu satu-satu, aku mengangkatnya sekaligus dua buah di
pundakku. Dalam waktu sekian menit mereka hanya bisa membawa sebuah barang dari truk ke markas.
Tetapi dalam waktu sama aku telah dua kali hilir-mudik. Rupanya Sersan Slamet mencatat hal ini.
Setelah semua barang selesai dibawa ke markas itu, aku minta diri hendak pulang ke sarangku di pasar
Dawuan. Sersan Slamet menahanku. Aku dimintanya lebih lama membantunya. Maka rumah kosong yang
hendak jadi markas itu kusapu. Ketika aku sedang bekerja Sersan Stamet memberiku sepasang pakaian
tentara bekas. Aku diminta segera mengenakannya. Jadilah aku berseragam hijau.
Aku mengira sepasang pakaian bekas yang sudah bertisik di sana-sini itu adalah upah yang dijanjikan
Sersan Slamet sesaat aku mulai bekerja. Rupanya tidak demikian. Sersan itu telah menjeratku agar aku
mau bekerja menjadi kacung yang harus melayani diri serta seluruh anggota pasukannya. Untung, aku
tidak bersangkut-paut dengan para gerombolan yang sering mengacau wilayah Dawuan. Bayangkan bila
aku seorang anggota gerombolan, atau setidaknya seorang mata-mata mereka yang kuketahui banyak di
antara penduduk, maka keputusan Sersan Slamet mengangkatku menjadi pelayannya sungguh suatu
kesalahan besar.
Menjelang sore semua yang harus kukerjakan telah beres. Sersan Slamet menyuruhku duduk. Di hadapan
beberapa tentara lain, sersan itu menanyaiku.
“Rasus, dengan pakaian itu engkau telah pantas menjadi seorang tobang. Kami memerlukan seseorang
untuk melayani kami dalam tugas. Tentu saja bila kau bersedia memikul tugas itu kelak kau akan
menerima gaji. Bagaimana?”
Jawaban apa pun tidak bisa segera kuberikan. Tetapi dalam hati aku bersorak-sorai. Bila tawaran itu
kuterima, maka pasti aku akan menjadi anak Dukuh Paruk pertama yang berseragam hijau, berbicara
dalam bahasa Indonesia, lagipula menerima gaji. Bukan main hebat! Srintil akan melihat seorang yang
pernah dikenalnya bernama Rasus berseragam tentara, meski tanpa pangkat. Sakarya dan Kartareja yang
telah menciptakan Srintil menjadi seorang ronggeng sehingga aku kehilangan bayangan Emak, akan
terbata-bata bila suatu saat kudatangi. Rasakan dia.
“Lho. Engkau tetap diam, Rasus. Engkau menolak atau hanya bingung memikirkan tawaranku?” tanya
Sersan Slamet.
“Tidak demikian, Pak. Aku hanya merasa sangsi apakah aku dapat memenuhi syarat untuk memikul tugas
yang akan kuterima itu,” kataku merendah.
“Siapa saja yang mempunyai cukup tenaga serta kejujuran, dapat melaksanakan tugas sebagai tobang.
Tentang tenaga, aku sudah merasa pasti engkau memilikinya dengan cukup. Kejujuranmu sudah terpancar
dari wajah dan sinar matamu sendiri. Jadi aku merasa pasti pula engkau mampu menjadi seorang tobang.”
“Kalau demikian penilaian Sersan, maka aku hanya menurut,” jawabku tanpa mengangkat muka.
“Katakan; ya! Kami tentara. Kami memerlukan ketegasan dalam setiap sikap,” kata Sersan Slamet tegas.
Tetapi dari nadanya aku tak menangkap kekerasan.
“Ya. Tawaran itu kuterima!”
“Bagus. Engkau mulai berbicara seperti seorang tentara.”
“Tetapi...”
“Tetapi? Tentara tak pernah berbicara ‘tetapi’ bila keputusan telah diambil.”
“Singkong-singkong yang selama ini kujaga harus secara tegas dan pasti kuserahkan kembali kepada
pemiliknya. Seperti tentara, seorang tobang harus tegas!”
Pada hari-hari pertama menjadi tobang, banyak hal baru yang kurasakan. Siang hari aku mencuci
pakaian-pakaian tentara, melap sepatu-sepatu. Urusan dapur menjadi bagianku pula. Aku melakukan
bagian ini dengan senang hati karena di samping memasak aku berkesempatan pergi berbelanja ke pasar
Dawuan. Di sana aku pamer dengan baju seragam. Semua orang yang pernah mengenalku di pasar itu
memujiku. Bahkan pemilik singkong yang pernah beberapa belas bulan menjadi majikanku, tak berani
memanggilku dengan nama, melainkan dengan sebutan “mas tobang”. Aku berharap Srintil secepatnya
mengetahui perubahan diriku lalu datang berbelanja ke pasar Dawuan. Sayang belum satu pun orang
Dukuh Paruk kujumpai di pasar itu.
Sebulan sejak kedatangan pasukan tentara tak terdengar peristiwa perampokan di wilayah Dawuan.
Meskipun tentara tetap siaga dan berpatroli di malam hari, tetapi setidaknya aku merasakan suasana yang
tenang di antara mereka. Hubunganku dengan Sersan Slamet lebih dapat dikatakan sebagai hubungan
pribadi daripada sebagai hubungan antara seorang tobang dan seorang sersan. Dia banyak bertanya
tentang diriku, asal-usulku bahkan sekolahku. Dia mengajariku menulis dan membaca setelah mengetahui
aku tak pernah bersekolah. Berbagai kisah diceriterakan kepadaku. Tetapi yang kusenangi adalah kisah
seorang tentara pelajar yang karena keberaniannya dapat membunuh tiga serdadu musuh dalam suatu
pertempuran. Pada umumnya Sersan Slamet bersikap lembut kepadaku. Tetapi jiwa tentaranya harus
muncul juga. Misalnya beberapa hari setelah aku bergabung dengan pasukannya, dia pernah berkata.
“Sebagai seorang tobang segala sesuatu yang kauketahui di sini menjadi rahasia penting. Kau harus
menjaganya sekuat tenaga. Dengan orang luar kau hanya dibenarkan berbicara seperlunya. Kalau
kuketahui kau melakukan kesalahan, aku sendiri yang akan menghukummu. Bila perlu dengan pestolku!”
Berbagai pengetahuan takkan pernah kudapat bila aku tak berkesempatan mengenal Sersan Slamet. Hanya
dua bulan aku belajar membaca dan menulis. Sesudah itu aku mulai berkenalan dengan buku-buku, dari
buku ceritera wayang, buku sejarah sampai buku-buku yang berisi pengetahuan umum. Seluk-beluk
senjata juga kuperoleh dari sersan yang baik itu. Dari namanya seperti Pietro Beretta, Parabellum, Lee
Enfield, Thomson dan sebagainya.
Cara bongkar pasang dan penggunaannya pun diajarkan oleh Sersan Slamet kepadaku. “Siapa tahu pada
saat yang kritis kau harus ikut memegang senjata dalam pertempuran,” kata sersan itu sambil tersenyum.
Boleh jadi Sersan Slamet tidak tahu hatiku melambung sampai ke langit karena mendengar ucapannya.
Andaikata Emak mendengar kata-kata itu!
Suatu pagi kudengar Sersan Slamet berkata kepada bawahannya. Bahkan aku pun dipanggilnya mendekat.
“Sampai hari ini kiriman bahan makanan belum juga tiba. Padahal persediaan sudah menipis. Kita
membutuhkan daging segar. Terus-menerus memakan daging dan makanan kaleng tidak baik untuk
lambung kita. Jatah untuk pembeli daging segar sudah habis. Kita putuskan berburu babi atau kijang di
hutan.”
“Berita bagus,” kata kopral Pujo, “aku ikut.”
“Tidak. Kopral tinggal di sini dan kuserahi tanggung jawab. Aku hanya memerlukan dua orang serta Rasus
sebagai penunjuk jalan.”
Bila Kopral Pujo bersuka-ria mendengar berita itu, apalagi aku yang bahkan akan diajaknya serta. Berburu
bersama tiga orang tentara ke hutan. Orang kampung akan melihat Rasus berjalan beriringan dengan
tentara. Mereka akan melihat Rasus mengenakan baju hijau. Pasti mereka akan bergumam. Anak Dukuh
Paruk yang satu itu memang luar biasa, dapat menjadi tentara. Apalagi bila aku dapat dipercaya
memanggul bedil. Pasti akan berlipat kekaguman orang kampung padaku. Dalam perjalanan pulang aku
akan memanggul sendiri hasil buruan. Babi atau kijang.
Tak pernah kuimpikan sebelumnya bahwa suatu pengalaman yang amat luar biasa kuperoleh dalam
kesempatan berburu itu. Bukan dengan binatang buruan, bukan pula dengan gerombolan perampok yang
bersembunyi di hutan.
Kira-kira jam delapan kami berangkat dan Dawuan. Di punggungku ada ransel berisi perbekalan. Di
pinggangku yang sebelah kiri tergantung termos dan pinggang kanan terselip pisau belati bersirung. Aku
merasa diriku luar biasa gagah saat itu. Benar, sepanjang perjalanan ke hutan semua orang yang
kebetulan berpapasan denganku bersama tiga orang tentara berdiri sesaat hanya untuk mengagumi
seorang anak Dukuh Paruk. Anak-anak kecil segera bersembunyi, meski mereka kupanggil dengan bahasa
ibu.
Sampai di hutan, perburuan langsung dimulai. Dalam hal ini aku kecewa karena tiga orang tentara yang
kuiringkan sama sekali tak berpengalaman dalam hal berburu. Celeng sama sekali tak terlihat barang
seekor. Kijang memang terlihat tetapi Sersan Slamet yang menjadi algojo gagal menembak sasarannya.
Sampai sore hari ketika perburuan dihentikan, para pemburu hanya kehilangan dua peluru. Satu unruk
menembak kijang yang ternyata tak mengena. Satu lagi untuk menembak seekor ular sanca sebesar paha
yang bergelung di atas pohon.
Jadi di tengah hutan itu aku mempunyai pekerjaan menguliti seekor ular besar, memotonginya
pendek-pendek, kemudian memasukkannya dalam tiga buah ransel. Sesungguhnya aku tak menyukai
pekerjaan semacam itu. Tetapi demi Sersan Slamet segalanya kulakukan, meski beberapa kali aku hampir
muntah. Bau anyir dan sengak menggelitik lambung dan mengaduk-aduk isinya.
“Selesaikan pekerjaanmu,” kata Sersan Slamet. “Aku mau tidur barang sebentar. Cepat bangunkan aku
bila kau melihat sesuatu yang mencurigakan.”
“Celeng atau kijang?” ujarku bergurau. Sersan Slamet hanya tersenyum lalu merebahkan diri di bawah
pohon. Kedua tentara lain malah sudah tak bergerak-gerak lagi, tertidur pulas.
Sesungguhnya aku sangat ahli dalam hal mengupas singkong. Tetapi perkara menguliti seekor ular yang
hampir empat meter panjangnya baru sekali itu kulakukan. Untung, sebelum pergi tidur Sersan Slamet
memberikan petunjuknya. Kepala ular kuikat dengan tali. Ujung tali yang lain kuikatkan pada sebatang
pohon. Pada lehernya kubuat irisan melingkar. Dari irisan itu kulit ular kukupas ke belakang. Tenagaku
hampir terkuras habis untuk menarik kulit ular itu. Hasilnya adalah sebuah kantung panjang yang terbalik.
Pekerjaan selanjutnya tidak memeras banyak tenaga. Ternyata banyak daging ular yang harus kubuang.
Dua buah ransel sudah penuh. Ransel ketiga untuk diisi dengan kulit binatang itu.
Semuanya selesai sudah.
Aku bangkit berdiri untuk memutar tulang punggung. Sepi. Sersan Slamet dan dua orang anggotanya masih
terlelap. Aku tidak mempunyai keberanian membangunkan ketiga anggota tentara itu. Maka aku hanya
duduk berdiam diri dalam kelengangan hutan yang terasa bertambah hening tanpa kehadiran angin. Setiap
kali kutoleh ke belakang tampak tiga sosok tubuh yang tetap nyenyak. Heran. Dalam keadaan tidur sedikit
pun tak tampak keperkasaan seorang tentara.
Ketika kupandangi tiga pucuk bedil yang dibiarkan tersandar oleh majikannya, tiba-tiba muncul ilham
gemilang. Sampai kapan pun aku tak bisa mengerti mengapa ilham itu datang pada saatnya yang amat
sangat tepat. Kedatangannya akan terbukti nanti mampu mengakhiri derita panjang yang menista hidupku
selama bertahun-tahun.
Ketiga bedil itu masih tersandar di tempatnya. Selagi Sersan Slamet bersama dua rekannya pulas, aku bisa
menggunakan salah sebuah bedil mereka untuk kepentinganku sendiri. Aku mempunyai musuh bebuyutan
yang meski hanya merajalela dalam angan-angan, sudah sekian lama aku ingin menghancurkan kepalanya
hingga berkeping-keping: mantri yang telah membawa Emak melarikan diri entah ke mana. Ketika datang
kesempatan buat menghancurkan kepala mantri itu, mengapa aku tidak segera bertindak?
Cepat! Jangan tunggu sampai ketiga orang tentara itu terjaga. Bayar kesumatmu sekarang juga! Demikian
sebuah suara terdengar jelas dalam hatiku sendiri.
Aku patuh. Tindakan pertama, kucari sebongkah batu cadas sebesar kepala. Kuangkat dia ke atas sebuah
tonggak kayu. Dengan pisau belati batu cadas itu kuukir. Ada gambar mata, hidung dan bibir. Tak
kulupakan kumis panjang yang melintang. Sehelai daun jati kuletakkan di atas batu cadas itu. Maka
lengkaplah kepala mantri keparat yang telah mencuri Emak. Mantri yang menurut ceritera Nenek selalu
berkumis dan memakai topi gabus.
Dari jarak beberapa langkah aku menatap hasil rekaanku. Tak salah lagi. Itulah mantri, musuh
bebuyutanku. Bajingan tunggulah balas dendamku beberapa detik lagi.
Kulihat kiri-kanan. Sepi. Hanya seekor dadali terbang melintas di langit. Biarlah dia menjadi saksi tunggal
atas perbuatan yang akan kulakukan. Aku akan membayar dendam. Dengan berjingkat aku mencapai salah
sebuah bedil itu. Sebuah Lee Enfield. Tanganku gemetar ketika mengangkatnya. Bukan karena aku baru
kali pertama menjamah sebuah senjata api. Bukan. Sudah kukatakan aku mengenal berbagai jenis senjata
sejak aku bergabung dengan Sersan Slamet. Tanganku gemetar karena gejolak dalam hatiku sendiri.
Gemetar karena rasa kesumat yang sesaat lagi akan terlampiaskan.
Pelan, pelan sekali aku melangkah mundur. Aku takut salah seorang dari ketiga tentara itu bangun. Bila
sampai terjadi demikian gagallah rencanaku membalas dendam kepada mantriku yang keparat, Kemudian
aku berbalik. Demikian maka aku berdiri beberapa langkah di depan kepala mantri. Aku kembali membuat
gerakan yang begitu pelan, ketika aku menarik handel untuk mengokang bedil di tanganku. Lirih sekali
sehingga kuharap kuman yang berada di telapak tanganku tak mendengar bunyi pegas yang kurentang.
Denyut jantungku ternyata mampu menggerak-gerakkan ujung laras bedil yang telah tertuju lurus pada
sasaran. Kepala mantri itu! Maka aku masih menunggu sampai jantungku sedikit lebih tenang.
Saat telah tiba.
Bedil kembali kuarahkan kepada sasaran. Kubayangkan bagaimana seorang anggota regu tembak berdiri
menunaikan tugas menembak mati seorang musuh. Dialah yang kutiru. Picu kutarik. Ledakan dendam
membuat gerak telunjuk kananku menjadi kuat dan pasti. Aku hampir tidak mendengar letupan karena
seluruh indera terpusat kepada kepala mantri yang hancur dan terlempar ke belakang. Topi gabusnya
terbang entah ke mana.
Ya Tuhan! Detik berikutnya aku mendengar Sersan Slamet dan kedua temannya terbangun. Sedetik lagi
aku mendengar hardikan yang amat keras disusul sebuah telapak tangan mendarat di pipiku. Bedil di
tangan direnggutkan dengan begitu kasar.
Tetapi aku tidak pedulikan semuanya. Aku sedang menikmati kepuasan batin yang amat sangat. Mantriku
telah mati. Kepalanya hancur sampai tak mungkin orang mengenalinya kembali. Tidak kupedulikan ketiga
tentara yang kemudian berdiri bingung, aku maju hendak melihat hasil tembakanku. Luar biasa. Kepala
mantri tinggal menjadi kepingan-kepingan kecil. Seorang lelaki dengan kepala hancur seperti itu takkan
bisa membawa lari Emak. Sejak saat itu dia sudah menjadi bangkai. Emak telah kubebaskan. Dia akan
kuajak kembali ke Dukuh Paruk sekarang juga. Aku menang, menjadi putera paling perkasa yang berhasil
gemilang membebaskan Emak tercinta dari genggaman setan.
Kukira kesadaran sedang kembali kepada diriku ketika aku berdiri kaku menghadap tiga orang tentara
yang memandangku dengan heran. Badanku basah oleh keringat dingin. Tangan dan kakiku gemetar.
Tetapi aku berusaha membuat langkah pertama ke arah Sersan Slamet. Sayang aku tak sampai ke tujuan.
Kulihat segalanya berputar jungkir-balik. Apa yang terjadi kemudian aku tak mengetahuinya lagi.
Entah berapa lama aku tak sadarkan diri. Ingatan pertama yang kurasakan adalah ketika Sersan Slamet
menuangkan kopi hangat dari termosnya ke dalam mulutku. Kemudian dari mulut yang belum sepenuhnya
terkendali masih terlontar kata-kata, “Mak, kau sudah bebas sekarang. Mari pulang!”
“Ya, kau sudah sadar. Kita akan segera pulang,” ujar Sersan Slamet. Kata-kata itu membuatku lebih
tersadar.
“Oh, Sersan. Aku telah membuat kesalahan. Aku mohon maaf,” kataku sambil bangkit duduk.
“Aku harus mengerti lebih dulu mengapa semua ini kaulakukan. Kau sudah bisa menerangkannya
sekarang?”
“Maaf, Sersan, aku tak bisa menerangkannya sekarang. Atau hukumlah aku. Kesalahan telah kuperbuat
dengan meledakkan sebuah peluru dengan maksud yang sukar Sersan mengerti. Sungguh, Sersan, aku rela
menerima hukuman apa pun.
“Baik. Mari kita pulang. Tetapi kau harus berjanji nanti akan memberikan keterangan sejelas-jelasnya
kepadaku.”
“Terima kasih, Sersan. Saya berjanji.”
“Bagaimana dengan ular sanca?”
“Sudah selesai. Tinggal membawanya dalam tiga buah ransel.”
“Kau merasa sudah cukup kuat?”
“Sudah.”
“Ambil pikulan. Hukuman pertama bagimu adalah mengangkat ketiga ransel itu, seorang diri.”
Kepada teman-temannya di markas, kedua tentara yapg ikut berburu mengatakan aku kemasukan setan di
hutan. Maka beberapa orang meminta keterangan langsung kepadaku, dan aku hanya cukup mengiyakan.
Tetapi kepada Sersan Slamet di kamarnya kukatakan dengan panjang lebar mengapa aku menembak
segumpal cadas itu. Pak Sersan mengerti tentang alasan yang kukatakan itu.
“Maka aku sungguh minta maaf, Sersan.”
“Hanya kali ini kau kumaafkan. Kali lain tidak. Untung aku dapat memahami penderitaan batinmu karena
selama hidup engkau belum pernah melihat ibumu. Kalau tidak hukuman yang akan kauterima cukup
berat. Bayangkan, mengambil dan menggunakan bedil. Bahkan seorang tentara harus memenuhi syarat
tertentu agar dibenarkan berlaku demikian.”--/bp/
***
Kehadiran tentara di Dawuan tidak selamanya dapat mencegah perampokan di wilayah kecamatan
tersebut. Bahkan di beberapa kampung para perampok semakin berani. Pembunuhan terhadap para
korban mulai berani mereka lakukan. Usaha mengatasi masalah itu ternyata bukan tugas mudah bagi
Sersan Slamet bersama anak buahnya. Patroli malam hari tidak berhasil menangkap seorang perampok
pun. Sebaliknya seorang anggota tentara tewas dan seorang lainnya terluka ketika segerombolan
perampok mencegat satuan patroli malam.
Sersan Slamet mengganti taktik. Anggotanya dipecah menjadi kelompok-kelompok kecil dengan anggota
dua sampai tiga orang. Setiap kelompok bertugas mengawasi rumah-rumah penduduk yang diduga
menyimpan emas permata. Orang-orang inilah yang selalu menjadi sasaran perampokan. Satuan kecil itu
meninggalkan posnya di Dawuan secara menyamar dan sudah siap di tempat tugas ketika matahari
terbenam.
Namun karena jumlah anggota yang terbatas, aku terpaksa ikut menjadi anggota satuan, meski aku belum
mendapat kepercayaan memegang senjata. Bersama Kopral Pujo aku mendapat bagian mengawasi Dukuh
Paruk. Karena aku sangat mengenal pedukuhan itu, kata Sersan Slamet memberi alasan. Di Dukuh Paruk
ada tersimpan emas. Di mana lagi kalau bukan di rumah Srintil. Maka aku menerima tugas bersama Kopral
Pujo dengan senang hati, meski terbersit ketakutan akan bertemu langsung dengan para perampok itu.
Setiap hari sebelum matahari terbenam, aku berangkat ke Dukuh Paruk. Kopral Pujo menyembunyikan
bedilnya dalam gulungan kain sarung. Dia sendiri tidak mengenakan seragam tentara, bahkan tanpa alas
kaki. Aku hanya bersenjata sebuah lampu senter. Kami usahakan agar kedatangan kami tidak diketahui
oleh orang Dukuh Paruk sendiri. Tempat yang kami pakai sebagai tempat mengintai terletak di ujung
pematang yang menghubungkan Dukuh Paruk dengan dunia luar. Bila sampai fajar tak terjadi sesuatu,
kami pulang ke Dawuan. Biasanya kami langsung tidur sepanjang pagi.
Sesungguhnya aku tidak berharap, sesuatu akan menimpa Dukuh Paruk. Betapapun dia adalah tanah airku
yang kecil. Tetapi pada malam kesembilan, ketika cahaya bintang mampu menerangi pedukuhan itu, dari
tempat pengintaian kulihat sinar lampu senter mendekat. Kubuka
mataku lebar-lebar. Empat lima orang sedang berjalan beriring di atas pematang. Sinar bintang-bintang
memungkinkan mataku melihat kelima orang itu masing-masing membawa benda panjang. Tak salah lagi,
bedil.
“Aduh, Kopral. Akhirnya mereka datang juga,” kataku berbisik.
“Berapa? Mataku kurang awas.”
“Lima. Semuanya bersenjata. Kita hadapi mereka?”
“Seharusnya begitu. Tetapi jangan gila. Hanya ada sepucuk senjata pada kita. Pada mereka ada lima
bedil.”
“Jadi bagaimana? Keputusan harus segera kita ambil.”
“Nanti dulu. Aku mau kencing.”
Mengecewakan. Kopral Pujo tidak lebih berani daripadaku. Pada saat itu dia tidak bisa mengambil
keputusan. Jadi akulah yang mengambil prakarsa.
“Kita perlu bantuan. Kopral tetap di sini. Aku akan berlari secepatnya ke Dawuan. Dalam dua puluh menit
kuharap aku sudah kembali bersama Sersan Slamet.”
“Terlalu lama. Mana sentermu. Aku akan memberi isyarat ke markas.”
“Tetapi dari tempat ini isyarat itu takkan terlihat oleh Sersan Slamet. Kopral harus lari sampai ke
pertengahan pematang.”
“Tak mengapa.”
“Nah inilah senter yang Kopral minta. Aku juga akan meninggalkan tempat ini mengikuti para perampok
itu dari belakang.”
“Ya.”
“Hati-hati. Kopral jangan salah tembak nanti.”
“Ya.”
Selagi Kopral Pujo lari ke tengah pematang, aku mengendap mengikuti para perampok yang baru beberapa
menit lewat di dekat tempat pengintaian. Benar dugaanku, mereka tidak mendatangi rumah Kartareja di
mana Srintil tinggal, melainkan ke rumah Sakarya. Dengan atap seng pemberian lurah Pecikalan, rumah
Sakarya kelihatan paling menonjol di Dukuh Paruk.
Kulihat dua orang perampok tetap tinggal di luar, satu di belakang dan lainnya di halaman rumah. Tiga
lainnya masuk ke beranda setelah membuka pintu dengan tendangan kaki. Sakarya yang terkejut,
langsung mengerti apa yang akan terjadi. Kakek Srintil itu keluar. Di ruang tengah dia berhadapan dengan
tiga orang yang mengacungkan senjata kepadanya. Nyai Sakarya yang menyusul suaminya keluar langsung
tersimpuh di tanah.
“Ini rumah ronggeng Srintil, bukan?” bentak salah seorang perampok kepada Sakarya. Yang dibentak
menggigil ketakutan.
“Aku memang kakek Srintil. Tetapi dia tidak di sini lagi sekarang,” jawab Sakarya dengan bibir gemetar.
Salah seorang perampok menampar orang tua itu sampai terhuyung. Lainnya menggeledah ke seluruh
sudut rumah. Tak menemukan Srintil maupun hartanya, para penjahat kembali berlaku kasar kepada
Sakarya.
“Katakan di mana Srintil tinggal! Jangan membuang waktu. Bedilku bisa meledak setiap saat.”
“Jangan, jangan. Akan kukatakan, Srintil tinggal di rumah Kartareja, tiga rumah ke timur dari sini. Tetapi
jangan kalian apa-apakan dia. Sungguh. Srintil cucu tunggal kami. Ambil hartanya, tapi jangan cederai
dia.”
“Itu urusanku. Kamu jangan mengajari kami.”
Sebelum meninggalkan rumah Sakarya para perampok membuat orang tua itu pingsan. Pukulan di kepala
dengan menggunakan lampu senter sudah cukup. Kemudian kelima penjahat bersama-sama menuju rumah
Kartareja. Dukun ronggeng itu sudah mendengar kegaduhan di rumah Sakarya. Barang-barang emas
miliknya dan milik Srintil disembunyikannya di dalam abu tungku.
Seperti ketika datang ke rumah Sakarya, maka dua orang perampok tetap tinggal di luar rumah. Aku
berada di balik pohon hanya beberapa langkah dengan salah seorang di antara mereka. Kudengar pintu
yang didobrak. Suara-suara menghardik dan suara-suara pukulan. Sesaat berikutnya kudengar jerit Srintil.
Aku mengutuk sengit mengapa Kopral Pujo belum juga muncul. Karena tidak sabar menunggu, maka
timbul keberanianku.
Penjahat yang berdiri di belakang rumah kelihatan gelisah. Aku mencari sesuatu di tanah. Sebuah batu
sudah cukup. Tetapi yang kutemukan sebatang gagang pacul. Ketika perampok itu membelakangiku, aku
maju dengan hati-hati. Pembunuhan kulakukan untuk kali pertama. Aku tidak biasa melihat orang
terkapar di tanah. Aku belum pernah melihat bagaimana seorang manusia meregang nyawa. Pengalaman
pertama itu membuat aku gemetar. Dan siap lari andaikata tidak tertahan oleh keadaan. Aku mendengar
langkah mendekat. Cepat aku mengambil senjata milik orang yang sudah kubunuh. Sebuah Thomson yang
tangkainya sudah diganti dengan kayu buatan sendiri. Tak mengapa. Senjata yang telah terkokang itu
kugunakan untuk pembunuhan kali kedua.
Sesudah itu aku benar-benar merasa takut. Aku lari dan berbalik sesaat untuk menghujani rumah
Kartareja dengan peluru yang masih tersisa. Kemudian aku berlari kembali. Sampai di sawah aku bertiarap
di balik pematang. Thomson itu telah tersembunyi di dalam sebuah parit.
Ketika dalam keremangan kulihat empat sosok tubuh berlari ke arah pedukuhan, aku mengerti Kopral Pujo
sudah datang membawa bantuan.
“Tunggu, aku Rasus.”
“He, di mana mereka?” tanya Sersan Slamet.
“Di rumah Kartareja. Cepat. Dua di antara mereka telah kubunuh,” kataku dengan menggigil.
Sersan Slamet mengatur siasat. Dia menyuruh tiga anak buahnya memasuki Dukuh Paruk dengan tugas
mengusir para penjahat keluar. Dengan Thomson-nya Sersan Slamet akan mencegat mereka di tepi sawah.
Terdengar letupan-letupan ramai. Para perampok termakan oleh siasat Sersan Slamet. Mereka lari ke luar
rumah Kartareja. Satu orang tertembak oleh Kopral Pujo. Satu orang lolos, tetapi senjata Sersan Slamet
berhasil membunuh seorang lainnya.
Setelah suasana sepi Sersan Slamet mengajakku melihat rumah Kartareja. Kopral Pujo dan dua temannya
sudah di sana. Dengan lampu senter kucari Thomson bertangkai kayu yang tadi kulempar ke dalam parit.
Kupanggul dia dengan gagah. Di belakang rumah Kartareja aku berhenti. Kepada Sersan Slamet
kutunjukkan dua mayat. Tetapi aku hampir muntah melihat darah begitu banyak. Sebuah senjata lagi
tergeletak dekat salah seorang mayat.
Ketika aku dan Sersan Slamet masuk, Kartareja sedang menggigil di depan Kopral Pujo. Istrinya duduk
termangu. Srintil terbelalak melihat aku membawa bedil, schingga dia ragu-ragu mendekat. Dari
keterangan Kartareja diketahui perampok hanya berhasil membawa perhiasan yang pada saat itu
dikenakan Srintil; sepasang subang, dua cincin dan seuntai kalung. Kartareja menyuruh Srintil tetap
mengenakan perhiasan itu untuk melindungi perhiasan lain yang lebih mahal dari jarahan para perampok.
Orang-orang Dukuh Paruk keluar dan berkumpul di rumah Kartareja. Dengan obor mereka disuruh oleh
Sersan Slamet mengumpulkan empat mayat. Di hadapan orang banyak Sersan Slamet memujiku sebagai
seorang pemberani. Tentara itu tidak tahu aku paling takut melihat darah. “Rasus sangat pantas menjadi
tentara. Saya akan berusaha agar dia diangkat secara resmi menjadi anggota kesatuan saya,” kata Sersan
Slamet yang disambut dengan gumam orang-orang Dukuh Paruk.
Empat mayat akan ditanam besok pagi untuk dikenali dulu identitasnya. Tengah malam Sersan Slamet
bersama dua anggotanya pulang ke Dawuan. Aku berdua Kopral Pujo tetap tinggal di Dukuh Paruk.
Srintil mengikutiku ketika aku berjalan menuju rumah Nenek. Ah, semakin tua nenekku. Kurus dan makin
bungkuk. Kasihan, Nenek tidak bisa banyak bertanya kepadaku. Linglung dia. Tetapi aku merangkulnya
sambil berseru berulang-ulang menyebut namaku sendiri. “Aku Rasus, Nek.”
“Eh, jadi kamu si Rasus?”
“Ya, Nek.”
“Kau sudah makan?”
“Sudah. Sudah.”
“Jadi kamu mau tidur di sini?”
“Ya, Nek. Malam ini Nenek kutemani. Sekarang berbaringlah kembali. Ayo kubantu.”
Selagi orang-orang Dukuh Paruk mengerumuni rumah Kartareja, aku duduk berdekatan dengan Srintil di
beranda rumah nenekku sendiri. Pernah kubaca dongeng tentang seorang pahlawan yang pulang dari
peperangan dan kembali disambut oleh seorang puteri jelita. Aku mengumpat habis-habisan mengapa
dongeng semacam itu sempat singgah dalam ingatan. Ketika duduk berdua Srintil itu aku memang
merasakan kepuasan yang amat sangat. Bukan oleh kenyataan bahwa Srintil tak habis-habisnya memujiku
atau karena dia berserah diri sepenuhnya kepadaku. Bukan pula oleh pembunuhan atas dua orang manusia
yang telah kulakukan malam itu. Jiwaku terlalu lemah buat menghadapi perbuatan semacam itu, meski
mereka yang kubunuh adalah perampok-perampok. Dalam hati aku bersumpah, perbuatan mencabut
nyawa takkan pernah kulakukan lagi baik terhadap orang jahat, apalagi terhadap orang-orang biasa.
Bukan. Kepuasan itu telah berkembang sejak beberapa hari yang lalu ketika kepala mantri kutembak
hancur di tengah hutan. Orang lain akan mengatakan perbuatanku itu tidak lebih dari ulah seorang bocah
ingusan yang tidak bermakna apa pun kecuali hanya mengundang tawa. Ya, aku tidak berharap orang lain
percaya bahwa aku telah menghukum mati musuh yang telah bertahun-tahun mengusik, bahkan membuat
teror berkepanjangan dalam kehidupan batinku. Katakanlah, tak seorang pun mempunyai kepentingan
dalam urusan sepele itu, urusan yang tolol dan sinting.
Tetapi aku merasa dengan pasti beban batin yang selalu menindih di hati sebagian besar telah hilang.
Kemungkinan kebenaran ceritera bahwa Emak melarikan diri bersama mantri sama sama sekali. Jadi
Emak, yang sudah kuyakini tidak sedikit pun mirip Srintil, memang mati termakan racun tempe bongkrek.
Mayatnya kemudian dipakai dalam penyelidikan medis untuk mengetahui segala tetek-bengek tentang
racun bongkrek. Bila aku telah meninggalkan nilai-nilai asli Dukuh Paruk, tentulah aku bisa mengatakan
mayat Emak telah diabdikan untuk kepentingan kemanusiaan. Aku rela sudah, Emak dikubur di suatu
tempat entah di mana. Tokh aku sudah tahu, duniaku sudah jauh lebih luas daripada sekedar pemukiman
sempit yang terpencil, Dukuh Paruk.
Pagi hari ketika semua orang Dukuh Paruk sibuk dengan empat mayat penjahat, aku sengaja tidak keluar
dari rumah Nenek. Srintil yang lekat sejak malam hari tak mau berpisah, kecuali ketika dia pulang
sebentar buat mengambil beras. Ronggeng itu cukup arif karena dia tahu di rumah Nenek hampir
sepanjang tahun tidak tersimpan beras meski hanya segenggam. Srintil menanak nasi dan merebus air buat
aku dan Nenek. Dia juga membuat telur dadar, makanan paling mewah yang sangat jarang dibuat orang di
pedukuhan kecil itu. Pagi itu, bahkan selama beberapa hari kemudian, Srintil menyediakan diri menjadi
istriku. Bukan hanya aku yang dimanjakannya secara berlebihan, melainkan juga Nenek. Perempuan pikun
itu pasti merasa mendapat saat yang paling menyenangkan sepanjang usianya.
Melalui Kopral Pujo yang hari itu pulang kembali ke markasnya di Dawuan aku menitipkan pesan kepada
Sersan Slamet. Aku minta ijin beristirahat barang empat-lima hari. “Mencari seseorang yang bisa menjaga
Nenek yang sudah sangat renta,” begitu pesanku. Ternyata usahaku menemukan seseorang itu sangat
mudah. Aku terkejut ketika menyadari semua orang di tanah airku yang kecil itu siap memenuhi segala
keinginanku.
“Soal nenekmu, jangan kaurisaukan benar. Kami akan menjaganya baik-baik. Kami sungguh sadar dari
dirinyalah lahir seorang cucu, seorang bocah bagus yang telah berhasil membunuh dua orang penjahat,”
kata Kartareja sambil mengacungkan ibu jari kepadaku. “Dan aku sanggup memberinya makan, karena aku
sudah mempunyai padi sekarang,” tambahnya.
"Jangkrik!” sahutku dalam hati. “Kamu si Tua Bangka telah menjadi kaya dengan cara memperdagangkan
Srintil.”
“Jadi, apakah engkau akan segera kembali ke markas, cucuku wong bagus?” tanya Sakarya.
“Ya, esok hari, Kek,” jawabku.
“Lho, jadi engkau tidak akan tinggal kembali di Dukuh Paruk ini?” tanya seorang perempuan, entah siapa
dia.
“Ah, itu tak mungkin. Rasus sudah menjadi tentara. Kau tak melihat bedil yang tergantung di tiang kayu
itu?” ujar perempuan lainnya.
“Aku harus segera bergabung kembali dengan Sersan Slamet. Dia beserta anak-anak buahnya sangat
membutuhkan tenagaku. Wilayah kecamatan Dawuan belum aman, bukan?” kataku yang segera disambut
dengan anggukan-anggukan kepala.
Malam terakhir di Dukuh Paruk aku hampir gagal memejamkan mata hingga pagi hari. Sepanjang malam
itu aku menghadapi ulah seorang perempuan yang sedang dituntut oleh nalurinya. Seorang perempuan
yang ingin kuanggap tanpa sebutan apa pun, baik sebutan ronggeng atau sebutan perempuan Dukuh Paruk.
Srintil hanya ingin disebut sebagai seorang perempuan utuh. Dia sungguh-sungguh ingin melahirkan anakku
dari rahimnya. Dia ingin aku tetap tinggal bersamanya di Dukuh Paruk, atau ikut bersamaku, pergi
bergabung dengan kelompok Sersan Slamet.
“Bila kau ingin bertani, aku mampu membeli satu hektar sawah buat kaukerjakan. Bila kau ingin
berdagang, akan kusediakan uang secukupnya,” pinta Srintil di tengah malam yang amat sepi.
“Srin, aku belum berfikir sedemikian jauh. Atau aku takkan pernah memikirkan hal semacam itu. Lagipula
aku masih teringat betul kata-katamu dulu bahwa kau senang menjadi ronggeng,” jawabku.
“Eh, Rasus. Mengapa kau menyebut hal-hal yang sudah lalu? Aku mengajukan permintaanku itu sekarang.
Dengar Rasus, aku akan berhenti menjadi ronggeng karena aku ingin menjadi istri seorang tentara;
engkaulah orangnya.”
Masih segudang alasan dan janji yang diucapkan Srintil padaku. Sebagai laki-laki usia dua puluh tahun aku
hampir dibuatnya menyerah. Tetapi sebagai anak Dukuh Paruk yang telah tahu banyak akan dunia luar,
aku mempunyai seribu alasan untuk dipertimbangkan, bahkan untuk menolak permintaan Srintil. Srintil
boleh mendapatkan apa-apa dariku selain bayi dan perkawinan. Aku tahu hal ini sudah cukup memadai
bagi seorang perempuan Dukuh Paruk. Permintaan Srintil yang berlebihan pasti hanya didorong keinginan
sesaat yang kebetulan sejalan dengan nalurinya sebagai perempuan.
Menjelang fajar tiba, kudengar burung sikatan mencecet di rumpun aur di belakang rumah.
Keletak-keletik bunyi tetes embun yang jatuh menimpa daun kering. Kudengar dengung kumbang tahi
yang terbang menuju arah asal bau tinja yang berserakan di pedukuhanku yang kecil. Rengek bayi
tetangga dan keributan kecil di kandang ayam. Keretek tahi kambing yang tercurah ke atas geladak
kandangnya. Dan kelepak sayap kampret di antara daun jambu di samping rumah.
Perlahan-lahan aku bangun. Lirih sekali. Aku tidak menghendaki terdengar derit pelupuh bambu yang
dapat membangunkan Srintil. Dia masih lelap karena lelah. Malam itu Srintil terlalu banyak mengeluarkan
keringat. Seperti dulu, Srintil bertambah cantik dan teduh bila sedang tidur. Dengan hati-hati kubenahi
kainnya yang acak-acakan. Ketika Srintil menggeliat, kuelus dia seperti aku sedang mengelus seorang anak
kecil. Tidak lama aku berdiri menatap ronggeng Dukuh Paruk itu. Aku tidak ingin sesuatu yang berbau
sentimental menahan keberangkatanku.
Di dalam bilik lain kulihat Nenek, tidur miring dan agak melingkar. Sinar pelita kecil memungkinkan aku
melihat gerak paru-parunya. Pelan sekali. Ah, nenekku. Mengapa bukan sejak dulu aku mencari gambar
wajah Emak pada kerentaanmu? Oh, tidak, tidak. Aku sudah mendapat pelajaran. Berusaha mencari
gambaran Emak yang selama ini kulakukan hanya membuahkan hasil keresahan. Kekeliruan semacam itu
takkan pernah kuulangi. Maka kutatap garis-garis kerentaan pada wajah Nenek secara damai. Kemudian ke
bawah bantal kusisipkan semua uang yang ada di sakuku.
Aku berbalik. Tak kulupakan aku sudah menjadi tentara meski tanpa pangkat. Jadi watak ragu harus
kulenyapkan.
Selesai mengenakan pakaian seragam, kusambar bedil yang tergantung di atas balai-balai di bilikku. Srintil
masih lelap di sana, tetapi aku hanya melihatnya sejenak. Langit di timur mulai benderang ketika aku
melangkah ke luar. Belum seorang pun di Dukuh Paruk yang sudah kelihatan. Langkahku tegap dan pasti.
Aku, Rasus, sudah menemukan diriku sendiri. Dukuh Paruk dengan segala sebutan dan penghuninya akan
kutinggalkan. Tanah airku yang kecil itu tidak lagi kubenci meskipun dulu aku telah bersumpah tidak akan
memaafkannya karena dia pernah merenggut Srintil dari tanganku. Bahkan lebih dari itu. Aku akan
memberi kesempatan kepada pedukuhanku yang kecil itu kembali kepada keasliannya. Dengan menolak
perkawinan yang ditawarkan Srintil, aku memberi sesuatu yang paling berharga bagi Dukuh Paruk:
ronggeng!
Sampai di tengah pesawahan aku menoleh ke belakang. Aku tersenyum sendiri, lalu bergegas meneruskan
perjalanan. Dengan memanggul bedil, rasanya aku gagah. Tetapi sebenarnya perasaan itu muncul bukan
karena ada sebuah bedil di pundak, melainkan karena aku telah begitu yakin mampu hidup tanpa
kehadiran bayangan Emak. Di belakangku Dukuh Paruk diam membisu. Namun segalanya masih utuh di
sana; keramat Ki Secamenggala, kemelaratan, sumpah-serapah, irama calung dan seorang ronggeng.
Tamat
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar