Minggu, 23 Mei 2010

burung-burung manyar


Burung-burung Manyar (Djambatan, 1981).

Saya membaca novel karya Yusuf Biliarta Mangunwijaya ini tahun 1994, ketika kelas 2 SMP lewat perpustakaan kecil di belakang gereja. Sejak itu, selain serial Senopati Pamungkas (Arswendo Atmowiloto, GPU, 1879), novel inilah yang terpatri di memori saya, tidak peduli berapa banyak novel lain yang dibaca bertahun-tahun sesudah itu.

Kemudian, perjumpaan saya dengan Burung-burung Manyar terjadi lagi di Yogyakarta, sekitar tahun 2001. Saya membeli novelnya hasil dari resensi buku yang dimuat di Kompas. Novel ini ternyata masih membius. Dan saya mulai mendalami psikologis dan karakterisasi tokoh-tokohnya, bukan hanya kisah cinta segitiga antara Teto, Atik dan Jana.

Rupanya, akhir tahun 2007 ini, saya bertemu lagi dengan mereka. Dalam bentuknya yang lain, yang hidup. Dunia ini memang kecil, rupanya. Saya mengenal mereka dengan cara yang tidak sama seperti mereka mengenal saya.

———-

Mari kita lihat. Ini sinopsisnya, yang saya ambil dari sebuah artikel.

Setadewa (Teto): Anak Kolong, sangat membenci Jepang karena seorang serdadu Jepang telah menjadikan maminya sebagai gundik. Sangat mencintai Atik dan keras hati. Ia berpikir semua yang menentang Belanda adalah pengkhianat.



Larasati (Atik), gadis yang periang, berjiwa nasionalis, menghormati dan menyayangi kedua orangtuanya, teguh pendirian, penyayang, sangat mencintai Teto.

Bu Antana (Ibu Atik) seorang Ibu yang sangat mencintai keluarganya, keibuan.

Mayoor Verbruggen, Mayoor Belanda yang memudahkan Teto menjadi tentara NICA, pengagum berat Marice, ibu Teto.

Janakatamsi, suami Larasati. Orang yang tenang, sabar, pandai, dan berwawasan luas.

Sinopsis

Setadewa dan Larasati berkawan karib sejak kecil. Setadewa lahir sebagai anak Kolong, anak serdadu yang tinggal di tangsi. Ayahnya, Brajabasuki, adalah seorang kapten pada KNIL, tentara Hindia Belanda. Ibunya bernama Marice, seorang perempuan keturunan.

Kapten Brajabasuki hilang tak berjejak ketika kependudukan Jepang. Kemudian Marice menjadi gundik Jepang, meski ia tak menginginkannya. Ia dipaksa keadaan: kalau ia tak mau menjadi gundik, suaminya, ayah Teto, akan mati.

Setelah dewasa, Teto memilih menjadi tentara Belanda. Ia menemui Mayoor Verbruggen dengan membawa serta surat ibunya. Ternyata Mayoor Verbruggen adalah mantan kekasih ibunya. Alasan Teto memilih menjadi tentara Nica adalah kesumat kepada Jepang yang telah memaksa maminya menjadi gundik. Ia juga berpikir orang-orang yang menentang Belanda adalah pengkhianat—termasuk orang-orang Republik.

Sementara itu, Atik adalah gadis nasionalis yang sangat membenci Belanda. Bahkan, ia bekerja sebagai relawan administrasi di lembaga milik pemerintah Indonesia. Meski begitu, Teto tetap mencintai Atik dan menghormati keluarga Antana.

Setelah Belanda kalah, Teto hengkang dari Indonesia. Ia menjadi ahli komputer dan manajer produksi Pasific Oil Wells Company. Suatu saat, Setadewa kembali ke Indonesia dan tanpa direncanakan ia menghadiri ujian disertasi Atik. Pada acara tersebut, dia tidak menemui Atik. Justru Atik dan suaminya, Janakatamsi, yang mengunjungi Teto di tempat ia menginap. Atik mengajak Teto ke rumahnya untuk bertemu dengan Bu Antana, yang kemudian meminta agar Teto bersedia menjadi kakak bagi Atik.

Suatu kecelakaan merenggut nyawa Atik dan Janakatamsi, suaminya, ketika mereka hendak berangkat beribadah haji. Jadilah ketiga anak mereka yatim piatu. Kemudian Setadewa menganggap ketiga anak Atik dan Jana sebagai anak­anaknya sendiri. Ia pun tak menikah lagi. Baginya, cukup Bu Antana yang menjadi ibu sekaligus nenek bagi ketiga anak itu

Setidaknya ada beberapa faktor non-literer yang membuat karyatama ini memiliki kekuatan tersendiri. Pada 1983, Burung-burung Manyar (BBM) beroleh penghargaan dari South East Asia Write Award. Ia juga telah diterjemahkan ke tiga bahasa: Jepang, Belanda, dan Inggris. Kekuatan lainnya adalah adalah Prawayang yang tidak banyak dimiliki oleh cerita lain. Roman ini pun bisa dianggap sebagai roman sejarah yang melukiskan kondisi bangsa Indonesia pada tiga zaman: penjajahan Belanda, pendudukan Jepang, dan kemerdekaan.

Cerita pada roman ini berpusat pada Teto, sehingga mayoritas cerita berkitar-kitar pada kehidupan privat Teto dan pergumulan batinnya. Di beberapa bagian Atik memang diceritakan, akan tetapi naratornya bukan orang pertama, melainkan orang ketiga.

Sejak awal cerita, Mangunwijaya langsung mengajak pembaca untuk berdialog. Konflik kejiwaan macam apa yang dialami si tokoh yang menyebut dirinya Aku? Hal itu membentang sepanjang lima belas bab roman ini, dari jumlah keseluruhan dua puluh dua bab. Alur yang dibangun oleh Romo Mangun adalah alur spiral. Ada waktu yang saling berhimpitan antara waktu cerita yang dialami oleh para tokoh yang diceritakan. Pelbagai waktu cerita kemudian bertemu dalam satu waktu cerita yang sama yang dialami oleh tokoh-tokoh protagonis.

Penulis tidak menempatkan Setadewa pada satu sisi saja. Ia tidak melulu menyombongkan dirinya, tetapi ia juga menceritakan sisi buruk dirinya, terlebih ketika ia mengakui bahwa Janakatamsi, suami Atik adalah lelaki yang baik, bahkan lebih darinya. Termasuk juga kegagalan pernikahannya dengan perempuan bernama Barbara, yang lebih memilih berpisah darinya.

Roman ini bisa jadi merupakan biografi kehidupan Setadewa, karena pada akhir cerita, terbubuh titimangsa dan tanda tangan Setadewa. Hal tersebut seakan hendak menandakan bahwa keseluruhan penceritaan dalam roman dilakukan oleh Setadewa.

Di awal cerita, sebelum memasuki bab pertama BBM, kita disuguhi dengan sebuah cerita, Prawayang. Ada keterkaitan antara tokoh-tokoh yang ada dalam Prawayang dengan tokoh-tokoh dalam cerita BBM. Tidak banyak fiksi Indonesia yang mengadopsi dunia pewayangan dalam cerita-ceritanya. Ada kemiripan nama tokoh, tempat, dan jalan cerita antara Prawayang yang disuguhkan oleh Romo Mangun dengan cerita BBM.

Beberapa nama tokoh dalam cerita BBM mirip dengan nama-nama tokoh cerita wayang Mahabharata. Nama Larasati sejajar dengan nama Rarasati atau Larasati dalam cerita wayang Mahabarata. Ayah Larasati dalam BBM bernama Antana, sedang dalam Mahabarata Ayah Rarasati bernama Raden Antagopa.

Begitu pun Setadewa, yang memunyai keselarasan nama dan nasib dengan Baladewa, seorang tokoh dalam pewayangan Mahabharata yang dikenal sebagai tokoh yang tersingkir dari lingkungannya. Baladewa dan Setadewa keduanya adalah tokoh yang berani menanggapi sesuatu dengan spontan.

Keduanya juga memiliki rasa keadilan dan keadilan yang tinggi, dan sama-sama tokoh yang terpelajar dan berani berbeda pendapat. Mereka sama-sama mangkir dari tanah kelahirannya demi orang yang dikasihi: jika Baladewa memihak Kurawa ketimbang Pandawa, Setadewa memihak Belanda ketimbang Indonesia. Baladewa lebih memihak Kurawa karena kecintaannya pada istri dan mertuanya, sedang Setadewa lebih memihak Belanda karena kecintaannya pada maminya.

Janakatamsi memiliki pertalian nama dengan Janaka alias Arjuna dalam dunia pewayangan. Keduanya memiliki sifat yang sama: pendiam, halus, dan cerdas. Yang membedakan keduanya adalah jumlah istri. sementara Arjuna alias Janaka beristri lebih dari satu orang, Janakatamsi hanya beristri satu orang, yaitu Larasati.

Pelukisan krisis eksistensial Aku (Setadewa) bisa dipandang sebagai suatu tawaran wacana bertalian dengan jati diri bangsa Indonesia. Bagi Romo Mangun, tampaknya jati diri tersebut tercermin pada tiga dimensi. Pertama, alam binatang, dalam hal ini diwakili atau disimbolkan oleh burung manyar. Kedua, manusia sebagai tokoh, dalam hal ini Setadewa dan Larasati. Dan ketiga, bangsa Indonesia sebagai bangsa dengan tekanan pada kualitas hidup dan kualitas generasi yang akan datang.

Ada pertalian cerita roman ini dengan kebiasaan yang dilakukan burung manyar, sebagaimana tertulis dalam disertasi Atik yang bertajuk Jati Diri dan Bahasa Citra dalam Struktur Komunikasi Varietas Burung Ploceus Manyar;

Atik menjabarkan kehidupan satwa tersebut dengan detil. Menjelang dewasa, burung manyar jantan berlomba merakit sarang yang paling indah agar dipilih burung manyar betina. Sementara manyar jantan membuat sarang, manyar betina hanya berleha-leha, sambil sesekali memerhatikan si manyar jantan membangun sarang.

Setelah selesai sarang dibangun, manyar betina memilih sarang yang paling mereka sukai, dan manyar jantan yang tidak terpilih sangat kecewa dan membuang begitu saja sarang yang telah dibangunnya dengan susah payah. Akan tetapi, meski tidak terpilih, manyar jantan itu tak patah arang. Dicarinya lagi alang-alang, daun tebu, dan lalu ia rakit lagi sarangnya sembari berharap ini kali ada seekor manyar betina yang terpikat.

Setadewa bisa diibaratkan sebagai manyar jantan yang tidak terpilih. Kesedihan dan kegagalan yang dialami oleh manyar jantan setidaknya juga dialami oleh Setadewa ketika mengetahui bahwa Atik yang selama ini diidamkannya telah menjadi milik orang lain. Sebagaimana burung manyar jantan, ia tidak putus asa. Ia mencoba untuk bangkit lagi. Ia kemudian menjadi kakak angkat bagi Atik dan pada akhirnya merawat anak-anak Atik.

Dalam roman ini pula, Romo Mangun secara tidak langsung melukiskan rentetan peristiwa kesejarahan di Tanah Air. BBM terbagi menjadi tiga periode sejarah Indonesia. Pertama, kurun warsa 1933-1944, rangkaian waktu di mana para pejuang kita kala itu gigih melawan penjajah dan terjadi peralihan kekuasaan dari tangan Belanda ke tangan Jepang—terutama pada masa kependudukan Jepang, di mana banyak perempuan menjadi budak seks serdadu Jepang.

Kedua, warsa 1945-1950, ketika bangsa Indonesia telah merengkuh ‘kemerdekaan’. Dan ketiga, warsa 1968, masa ketika Orde Baru berkuasa. Karena pernah mengalami ketiga zaman itu, sangat wajar jika Romo Mangun begitu piawai menuliskannya.

Dalam roman ini kita juga dapat melihat bagaimana perilaku manusia Indonesia pada setiap kurun waktu. Ada yang membela Jepang, ada yang memilih merdeka seperti halnya yang diinginkan oleh Atik, atau ada juga yang membela Belanda dan menjadi serdadu Nica.

Meski saling mencintai, Setadewa dan Larasati tetap teguh dengan pilihan masing-masing, sembari tetap menghormati pilihan; meski dalam hati kecil mereka, keduanya ingin agar mereka bisa sejalan.

Akan tetapi tokoh utama, baik Atik maupun Teto, keduanya bukanlah tokoh statis, dalam arti lurus-lurus saja dari awal sampai akhir cerita. Berpuluh tahun setelah mereka berpisah, baik Atik maupun Setadewa membuka mata untuk menerima masukan lain.

Setadewa, seorang tokoh yang di awal diceritakan sebagai tokoh yang berandal dan pemberontak, akhirnya bisa menjadi sesosok yang rendah hati dan sangat manusiawi. Setadewa tak menafikan bahwa ia telah keliru menyamakan Indonesia dengan Jepang, dan akhirnya ia mengakui Indonesia sebagai ibu kandungnya. Untuk sampai pada titik itu, ia melewati dinamika psikologis yang pedih dan berat. Inilah yang menjadikannya sebagai tokoh yang digambarkan dengan lengkap, seorang tokoh yang bulat – seorang tokoh yang punya sifar-sifat manusia.

Satu hal yang sangat menyentuh dalam roman ini adalah Setadewa yang sangat menjaga kesetiaan dan cintanya pada Atik. Puluhan tahun perpisahan, dan Atik yang telah menikah, tak membikin ia surut dalam memandang Atik sebagai kekasihnya.

Demikian pun Atik. Ia masih mencintai Setadewa. Suami Atik, Janakatamsi, yang mengungkapkan hal itu kepada Setadewa. Janakatamsi sendiri tidak pernah merasa menikah dengan Atik, meski mereka telah punya tiga orang anak. Konflik-konflik jiwa semacam itu, sampai taraf tertentu, adalah sebuah tragedi. Dan tragedi, kata Brecht, adalah perkakas yang tepat buat mencapai kelegaan tiada tara dalam jiwa penonton (pembaca): katarsis.

——————————————

Saya percaya, cinta itu punya cara sendiri untuk mewujud di dunia ini. Kadang abstrak, kadang paradoksal. Jika Teto dan Atik seumur hidup akan mencintai, kenapa Jana yang menjadi pemenang?

Saya bukan tipe orang yang platonis. Maka saya, anggap Jana adalah pemenang. Bukan Teto. Di bumi cinta adalah realita. dan realitas membutuhkan sesuatu yang bukan hanya soal perasaan melainkan soal logika. Beda dengan dunia perasaan yang butuh cinta dalam dimensi “tragedi”, seperti dongeng abadi Romeo-Juliet atau Roro Mendut-Ponocitro.

Bagi saya, Teto tetap pecundang. Apalagi Romo Mangun dengan gamblang melukiskan hubungan Atik dan Jana yang kekal sampai “maut memisahkan mereka”. Pembaca kebanyakan mungkin akan lebih simpati kepada Teto, karena lebih manusiawi, ada sisi baik, ada sisi buruk. Dan lebih lovable. Demikian pula saya.

Tapi, Jana sesungguhnya adalah ideal bagaimana sebuah pilihan itu berpihak. Ingat idiom ini? Wanita akan jatuh cinta dengan bergelora dengan pria yang sedikit nakal, namun akan berusaha menikah dan mencoba bahagia dengan pria baik-baik.

Orang bilang Romo Mangun adalah pakar dalam mengurai psikologis cinta tokoh-tokohnya, dan saya terpaksa setuju. Satu hal saja yang saya kurang setuju, Romo Mangun adalah tipikal pengarang yang pengecut (atau terlalu baik) untuk berpihak secara jelas dalam hal cinta duniawi, dan itu tampak usaha beliau mematikan Jana dan Atik, dan menjadikan Teto sebagai “hero” yang lalu menjadi bapak asuh ketiga anak Atik. Apakah tidak ada pilihan lain?

Pernah nonton film Reality Bites (1993) yang dibintangi Ethan Hawke, Winona Ryder, dan Ben Stiller? Jika pernah, maka pasti tahu ada kesamaan antar keduanya. Tapi, film ini lebih jelas, karena si wanita, pada akhir cerita memilih si urakan yang penuh masalah namun memesona (Ethan Hawke) daripada si mapan (Ben Stiller) yang selalu santun, dan baik, namun membosankan. Cinta dalam film ini memilih dengan tindakan, sedang dalam novel Burung-burung Manyar, cinta memilih dengan hati. Platonis.

———-

Bagaimana selanjutnya, kisah Cinta Burung-burung Manyar mereka yang nyata itu? Entahlah, biarkan mereka yang menjalankannya dan sampai kapan mengidentikkan diri sebagai Teto, Atik, Jana, bukan juga urusan saya.

diadopsi dari : http://lamanday.wordpress.com/page/4/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar